24 December 2013

Aku Bertemu Tuhan!

7 Agustus 2006

Sebenarnya  aku lebih suka bicara langsung denganmu, muka berhadapan dengan muka,  supaya kau dengar apa yang kukatakan langsung dari mulutku. Tapi apa mau  dikata, aku ada di sini dan kau ada entah di mana, sementara apa yang  mau kukatakan jelas sudah harus kukatakan sekarang juga. Maka sekarang  kau sedang baca tulisanku. Anggaplah ini kata-kataku, walaupun jelas  beda dan orang tolol manapun mesti bisa membedakan antara tulisan dan  perkataan. Tapi anggaplah ini kata-kataku, karena aku tak bisa  mengatakannya langsung padamu, sementara apa yang mau kukatakan sudah  sangat mendesak sifatnya.

Begini. Aku bertemu Tuhan!


Ya.  Tuhan. Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta  ini, yang maha tau, maha adil, dan maha segalanya. Tuhan yang  menciptakanmu, menciptakan aku, dan menciptakan segalanya.  Sungguh-sungguh Tuhan yang sesungguhnya Tuhan.

Aku bertemu  denganNya dua hari yang lalu ketika pagi subuh-buta. Pukul berapa  tepatnya aku tak ingat lagi, yang jelas ayam tetangga belum mulai  meracau dan keponakan induk semangku belum mulai menyapu lantai. Mungkin  sekitar pukul empat, tapi sudah kubilang aku tak tau pasti. Langit  waktu itu masih gelap dan udara kota terkutuk ini sedang  dingin-dinginnya, tidak ada siapapun yang masih atau sudah melek sepagi  itu. Hanya aku sendirian di dalam kamarku, membaca buku, dan sedikit  terkantuk-kantuk.

Masih ingat betul, aku baru saja mulai membaca  halaman seratus tujuh puluh dua waktu itu, ketika tiba-tiba seekor kutu  buku muncul di antara lipatan di bagian tengah buku. Merayap-rayap  menuju halaman seratus tujuh puluh tiga. Tidak ada yang aneh dengan kutu  itu, persis sama seperti kutu-kutu lainnya yang pernah kulihat. Baru  saja aku hendak menyentilnya, tiba-tiba ia bersuara. Awalnya aku tak  mengerti apa bunyinya, kukira cuma sekadar suara, walaupun aneh juga  seekor kutu bisa bersuara seperti itu. Setelah mencoba mendengarkan  lebih teliti baru aku mengerti, ia berkata "tunggu! Tunggu dulu! Hei!  Aku ini Tuhan!"

Jangan salah sangka, aku tidak langsung begitu  saja percaya pada apa yang dikatakannya. Bahkan aku tidak langsung  percaya pada apa yang kudengar. Bahwa seekor kutu bisa berbicara. Seekor  kutu, berbicara? Mengaku Tuhan pula? Aku justru mengira aku sudah  terlalu mengantuk dan linglung sampai bisa mendengar seekor kutu  berbicara denganku.

Tetapi ia mengajakku bicara lagi. "Woi. Dungu! Kau tak dengar? Aku Tuhan!"

Aku  langsung tersentak dan secara reflek menutup buku yang sedang kupegang,  menjepit si kutu di antara halaman seratus tujuh puluh dua dan seratus  tujuh puluh tiga. Rasa kantukku langsung menghilang, bahkan menjadi  sangat segar. Setelah yakin aku memang sungguh-sungguh sadar dan tidak  sedang bermimpi, kubuka lagi buku itu.

Maka muncullah sang kutu  yang tampak kejengkang tak karuan. Ia segera berdiri dan pertama-tama  menghardikku dengan keras, "goblok!" Aku hanya terbengong-bengong  memperhatikan kutu yang kemudian celingak-celinguk memeriksa bagian  samping dan belakang tubuhnya, persis seperti orang yang merasa ada  permen karet menempel di pantat celananya. Setelah selesai baru ia  menengadah lagi tepat ke arah mataku, bagaikan bertolak pinggang ia  memperkenalkan diri "aku Tuhan. Siapa namamu? Santai aja, gak perlu  tegang begitu."

Yakinlah aku, bahwa kutu itu memang berbicara, ia  berbicara padaku. Tetapi ia mengaku Tuhan. Kutu yang berbicara,  walaupun tidak masuk akal, akhirnya bisa kuterima karena bagaimanapun  aku memang mendengarnya berbicara. Tapi ia mengaku Tuhan. Kutu buku yang  mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan! Sungguh di luar akal sehat manusia  yang sehat lahir dan batin seperti diriku.

Kuputuskan untuk  mengajaknya berbicara, karena aku menjadi sangat ingin tau, kutu macam  manakah yang bukan saja - sekali lagi di luar akal sehat - dapat  berbicara, melainkan juga mengaku sebagai Tuhan.

***

"Kau  Tuhan?" Aku memulai perkataanku. Dan aku sungguh merasa sangat tolol  ketika memulai pembicaraan itu. Bayangkan saja, berbicara dengan seekor  kutu, yang mengaku Tuhan pula! Orang gila pun mungkin tak sudi  melakukannya. Tapi kutu ini memang berbicara, dan ia memang mengaku  Tuhan. Maka walaupun rasa ketolol-tololan itu menyengatku hingga ke  ubun-ubun, kulanjutkan juga pembicaraan itu. "Ke mana saja kau selama  ini? Mengapa baru sekarang kau muncul lagi?"

Dengan suara yang  datar dan berkesan dilambatkan kutu itu justru berkata, "tadi kutanya  siapa namamu. Dan kau belum menjawabku." Kujawab dengan suara yang datar  pula karena, kau tau, memberitahu namaku ke seekor kutu adalah puncak  dari ketololan yang kurasakan. Setelah itu baru sepertinya ia merasa  puas dan melanjutkan kembali.

"Aku ini Tuhan. Aku ada dan selalu  ada. Aku tidak pernah pergi. Dan aku pun selalu berusaha berkomunikasi  dengan orang-orang, tapi pada umumnya mereka terlalu dungu, atau banyak  dari mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa."

Pantas  saja mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Bagaimana  tidak, di mana di dunia ini ada orang waras yang berbicara dengan seekor  kutu yang mengaku Tuhan. Tetapi tampaknya itu sebuah kesalahan. Karena  tepat di pagi hari itu ternyata aku sedang berbicara dengan seekor kutu,  yang nyata-nyata mengaku bahwa dirinya Tuhan. Dan jelas aku adalah  seorang waras.

"Mengapa kali ini kau memilihku untuk berkomunikasi, kutu - maksudku Tuhan?"

Sambil  mengusap tangan-tangannya, kepala, dan badannya secara bergantian, yang  mana membuatku sekilas berpikir, bahwa kutu yang mengaku Tuhan ini  pesolek juga sifatnya, ia menjawab enteng, "sederhana saja, karena kau  tak terlalu dungu. Tapi juga tak terlalu cerdas."

Setelah menjawab, ia mulai berjalan ke tepian buku, menengok ke belakang ke arahku dan berkata "turunkan aku."

"Ha?"  Aku tidak mengerti, jelas jidatku berkerut dan mulutku celangap sambil  menatap si kutu yang masih menengok ke arahku. Dengan tidak sabar dan  hampir memotong ucapanku ia berkata "turunkan aku. Ke lantai!"

Maka  kuturunkan buku yang sejak awal tadi masih kupegang di depan dadaku. Ia  mulai merayap turun dan menjauh dari buku yang kini tergeletak di  lantai di depanku. Setelah berjarak kira-kira satu meter dari tempatku  duduk ia mulai berhenti dan merapat ke tepi lemari pakaianku, kemudian  dalam satu kejapan mata yang kulakukan, telah muncul seorang manusia di  tempat itu menggantikan sang kutu.

Aku terkaget-kaget dan  terperanjat, mundur dari tempatku duduk di lantai, dan hampir bangun  karena ternyata di belakangku adalah dinding. Di depanku duduk seorang  manusia yang berusia kurang lebih sama denganku. Rambutnya kering dan  tidak terlalu tercukur rapi, kulitnya coklat, matanya tampak agak lelah,  pakaiannya berupa jubah hitam - seperti jubah yang digunakan oleh  pendeta-pendeta Kristen zaman dulu, berlengan panjang dan bagian  bawahnya menerus hingga kaki seperti daster.

Ia menatapi  pakaiannya sendiri seperti menimbang-nimbang, kemudian menatapku yang  masih membeku dalam posisi setengah jongkok dan setengah duduk. "Maaf.  Salah." Ia tersenyum singkat, dan ketika mataku berkejap sekali lagi,  pada saat mataku membuka ia telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos  oblong dan celana panjang katun polos berwarna putih. Sekali lagi ia  menatapi pakaiannya, tampak puas, dan balik menatapku. "Ada rokok?"

Setelah  menelan ludah dan mengambil rokok di sampingku tanpa melepaskan  pandangan darinya, kusodorkan rokok sekaligus dengan koreknya. Ia ambil  sebatang, menyalakannya dengan sebuah isapan panjang, menariknya ke  dalam paru-paru, dan menghembuskannya dengan puas sambil menyandarkan  punggungnya ke lemariku. Kakinya diselonjorkan, yang kanan diletakkan di  atas yang kiri. Aku perlahan-lahan mulai duduk kembali, tetapi tetap  tidak melepaskan pandanganku yang jelas dipenuhi dengan keheranan. Ia  hisap lagi rokoknya dan menghembuskan asapnya sambil mengambil asbak  yang ada di antara kami berdua, kemudian ia kembali pada posisinya  semula dan menatapku sambil tersenyum tipis. "Nah. Sepertinya ada yang  hendak kau tanyakan?"

***

Mulutku masih celangap, tetapi  perlahan-lahan aku mulai menguasai diriku. Baik, kutu - yang mana  sekarang telah berubah menjadi seorang manusia - di hadapanku ini adalah  Tuhan. Menyaksikan apa yang dilakukanNya, aku tak dapat berpikir lain  selain bahwa Ia memanglah Tuhan yang sesungguhnya. Hanya saja hal ini  terlalu tiba-tiba, dan tidak perlu dipertanyakan lagi, aku tidak  terbiasa untuk - karena memang aku tidak pernah - duduk berhadap-hadapan  dan bicara langsung dengan Tuhan, yang kini sedang duduk selonjoran  sambil asik merokok di hadapanku. Dan tingkah lakuNya itu membuatku ragu  kalau Ia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan yang selama ini  dibicarakan orang-orang. Yang jelas aku tau, di kitab suci manapun tidak  pernah diceritakan tentang Tuhan yang merokok dan berkaos oblong,  terlebih lagi Tuhan yang menyamar menjadi kutu.

"Baik. Kau Tuhan.  Apakah Kau Tuhan yang dikenal selama ini?" Agak terbata-bata aku  menanyakannya sesudah beberapa kali menelan ludah dan mencoba untuk  membuat otot-ototku menjadi lebih santai.

Seakan-akan Ia  benar-benar tidak mengerti, Ia langsung menjawab, "Tuhan yang mana?  Tidak ada Tuhan yang lain. Tuhan ya cuma aku."

"Maksudku Tuhan yang sekarang ini diimani oleh orang-orang beragama."

"Ah, bohong itu! Nggak bener. Wong Tuhannya aku."

Sedikit  bingung karena seakan-akan menjadi ada dua Tuhan yang mengaku dirinya  adalah Tuhan, atau bahkan lebih dari dua Tuhan yang mengaku Tuhan, aku  terdiam sambil berusaha berpikir tentang hal itu. Kemudian mataku  terarah kepadaNya lagi ketika Ia kembali menyambar, "yang Tuhan itu aku.  Yang lain bohongan. Maksudmu yang disembah-sembah oleh orang-orang dari  zaman dulu sampai sekarang, di dalam rumah-rumah ibadah itu toh?" Aku  menganggukan kepala tapi tak berkata apa-apa. "Ya itu dia. Bohong itu.  Aku ndak pernah minta disembah kok. Aku juga nggak ngerasa aku disembah.  Entah apaan yang mereka sembah, yang jelas bukan aku."

Aku  berusaha berpikir lagi, meneruskan pikiranku yang terpotong oleh  kata-kataNya. Tapi yang terpikirkan cuma bahwa agama-agama itu  mengatakan mereka menyembah Tuhan, kalau sekarang Tuhan ada di  hadapanku, seharusnya tentu saja yang mereka - orang-orang agama itu -  sembah adalah Tuhan yang ada di hadapanku ini. Tuhan. Maka kukatakan  pikiranku itu, "tetapi mereka bilang mereka menyembah Tuhan," aku  terdiam sebentar, "kalau Kau adalah Tuhan, berarti mereka menyembahMu.  Kan?"

"Enggak. Udah kubilang aku nggak minta disembah. Dan yang  mereka sembah itu bukan aku. Lagipula aku nggak seperti yang mereka  omongin dan nggak seperti yang mereka tulis-tulis itu kok."

"Tapi  mereka bilang mereka menyembah ..." belum selesai kata-kataku Ia sudah  berkata "mereka bilang begitu. Tapi mereka tau dari mana kalo mereka  bener-bener nyembah aku?"

"Kitab suci bilang begitu. Semua kitab suci bilang agamanya menyembah Tuhan."

"Lha ya tau dari mana itu kitab suci isinya bener?"
"Nabi-nabi penulisnya mendapat wahyu...," sempat sedikit ragu untuk meneruskannya, "dariMu..."

"Kukasih tau, aku tidak memberi wahyu apa-apa pada mereka! Kenalpun tidak. Jadi mereka bukan bicara tentang aku."

Aku  terbengong-bengong. Walaupun aku bukan seorang religius, tetapi tetap  saja kenyataan ini membuatku terbengong-bengong. "Berarti... apa yang  dikatakan kitab suci itu bohong, nabi-nabinya pun bohong, agamanya  bohong, dan umat-umatnya semua dibohongi...?"

"Ada kemungkinan apa lagi? Kalau bukan bohong ya gila."

Sejujur-jujurnya  aku masih bingung juga. Logikaku sulit untuk langsung menyocokkan apa  yang dikatakanNya dengan apa yang selama ini dikatakan oleh orang-orang.  Setelah berpikir sebentar, aku bertanya lagi, "apakah Tuhan memang cuma  Kau, atau masing-masing agama itu menyembah Tuhan yang lain, tetapi  bukan Kau?"

"Aduh! Jangan-jangan semua manusia memang dungu. Kau  pun mulai menjadi dungu. Kukatakan Tuhan itu cuma aku. Tidak ada Tuhan  yang lain selain aku. Begitu ada orang yang mengaku menyembah Tuhan,  berarti dia bohong, atau tertipu, karena dia bukan menyembah aku. Tidak  ada satupun orang di dunia ini yang menyembahku." Ia menghisap rokoknya,  menjentikkan abunya di asbak dan meneruskan, "lagi pula kau tak melihat  kekonyolan itu? Orang-orang dungu itu punya banyak agama untuk  menyembah Tuhan, lantas maksudnya ada banyak Tuhan dengan banyak cara  menyembah, atau ada banyak Tuhan dengan cuma satu cara menyembah yang  benar, ..." Ia berhenti, menghisap rokok lagi, "atau ada satu Tuhan  dengan banyak cara menyembah, atau ada satu Tuhan dengan cuma satu cara  menyembah yang benar?"

Asap rokok keluar dari mulutNya ketika Ia  mengucapkan potongan kalimat yang terakhir itu, dan sesudah selesai  berucap Ia hembuskan semuanya sambil menatapku dengan dalam, membuatku  kembali berpikir-pikir. Lagi-lagi, belum selesai aku berpikir Ia sudah  meneruskan, "bagaimanapun yang sesungguhnya, tau dari mana kau bahwa apa  yang dikatakan oleh agama-agama itu, dengan kitab-kitab mereka, adalah  benar adanya? Lebih tepatnya, tau dari mana kau, bahwa apa yang tertulis  di kitab itu adalah sebuah kebenaran? Kitab-kitab yang ditulis ribuan  taun lalu, oleh orang-orang yang sama sekali tak kau kenal, yang hanya  mengatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Kau tau dari  mana?"

Aku hanya dapat mengangguk-angguk, sambil perlahan-lahan  mencerna apa yang dikatakanNya barusan, satu demi satu, sambil berharap  kali ini pikiranku tidak Ia potong lagi.

***

Kalau Tuhan  yang sesungguhnya, yang sedang duduk selonjoran di hadapanku ini  bukanlah Tuhan seperti yang dikatakan oleh agama-agama, maka Tuhan  seperti apakah Dia? Rasa ingin tahuku tergelitik karena menyadari bahwa  ternyata manusia, selama entah berapa ribu tahun, telah mengenal Tuhan  yang sama sekali salah, dan Tuhan yang sesungguhnya tepat berada di  hadapanku. Kalau cerita yang dikatakan oleh agama-agama itu tidak benar,  maka bagaimana cerita yang sesungguhnya?

"Tuhan, apakah Kau yang menciptakan Adam dan Hawa?", mulai kupancing Ia agar bercerita.

"Siapa lagi itu? Manusia dungu lainnya?"

"... dua manusia pertama yang... katanya... diciptakan oleh Tuhan..."

"Kalau  Tuhan yang disebut-sebut oleh agama-agama itu sudah salah, maka yang  lain-lainnya yang dikatkannya juga pun mesti salah. Jadi siapa itu Adam  dan Hawa aku tidak tau menahu, tepatnya tidak ada itu dua manusia  pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menciptakan dua  manusia dungu pertama itu."

"Berarti cerita penciptaan alam semesta selama tujuh hari pun tidak benar?"

"Tentu  saja tidak. Mungkin itu cuma dongeng sebelum tidur untuk anak-anak  kecil dua atau tiga ribu tahun lalu, yang kemudian diadaptasi menjadi  cerita resmi, oleh orang-orang cerdas yang penipu. Atau gila. Dan  diimani oleh orang-orang dungu, yang saling mendungui orang lainnya."

Baru  saja aku hendak menanyakan hal yang lainnya, Ia melanjutkan, "Bahkan  bahwa dunia ini bulat dan matahari adalah pusat tata surya saja  orang-orang dungu itu tidak tau. Apa yang kau harapkan dari mereka,  suatu pengetahuan tentang asal muasal dunia? Non sense!"

Sesudah  Ia berhenti berbicara baru kukatakan, "cerita tentang buah terlarang  juga dongeng...? Dan dosa asal juga dongeng...?" Sedapat-dapatnya  kuusahakan supaya apa yang kuucapkan itu tidak terdengar seperti  pertanyaan, karena semestinya memang itu tidak perlu ditanyakan lagi.  Tetapi aku ingin dengar dari mulutNya sendiri, aku ingin sungguh-sungguh  mendengar suatu konfirmasi bahwa itu memang bohong.

"Itu kau  tau!" Ia berkata sambil menunjuk singkat ke arahku dengan rokok yang  tinggal setengah di tanganNya dan menghembuskan asap dari mulutNya.  "Jelas dongeng. Manusia yang dungu-dungu saja bisa menciptakan lemari  besi, kalau aku yang sungguh berada di sana waktu itu, tentu saja buah  jahanam itu sudah kumasukkan ke dalam lemari besi. Apa susahnya? Lebih  masuk akal lagi kalau aku tidak usah repot-repot menciptakan buah yang  tidak boleh dimakan, dipajang mentereng di tempat umum pula. Tuhan yang  ada di dongeng itu mesti dimaksudkan sebagai Tuhan yang dungu seperti  kalian-kalian manusia ini." MataNya dialihkan dari arahku ke arah yang  lain sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ngaku Tuhan kok dungu...  setidaknya aku tak akan sedungu itu."

Seperti teringat akan  sesuatu, Ia tiba-tiba melanjutkan lagi. "Dan soal dosa asal. Itu pun  gila. Yang makan buah kan cuma dua manusia dungu itu, tapi semua  anak-cucu-cicitnya ikut kena akibat, sampai kau yang dungu itu di hari  ini pun kena akibat buah sinting itu. Sungguh dongeng yang dungu tentang  Tuhan yang dungu, yang dipercayai oleh orang-orang dungu."

Berarti  Ia sesungguhnya tau tentang cerita-cerita itu, tetapi dari nada bicara  dan gerak-gerikNya, aku merasa Ia menjadi semakin dan semakin emosional.  Seperti mengeluarkan suatu ketidaksukaan yang telah lama dipendamNya.  Dan oleh karena itu aku tidak dapat berkata-kata, Ia menjadi seperti  orang tua yang sedang ngedumel pada anaknya. Terlebih lagi kalimat yang  Ia ucapkan sesudahnya, terdengar lebih pelan, seperti berbicara dengan  diriNya sendiri, tetapi jelas Ia ingin aku mendengarkannya.

"...  katanya maha tau, mestinya udah tau itu buah bakal dimakan, ya tetep aja  diciptain, tetep aja dipajang di depan idung manusia dungu... Mana ada  Tuhan sontoloyo kayak begitu... Cerita bohong. Cerita bohong tentang  Tuhan yang dungu..."

***

Kubiarkan dulu Ia menenangkan  emosiNya yang mungkin baru sekarang dapat Ia keluarkan setelah sekian  lama. Aku duduk diam memperhatikanNya tanpa terlepas, perlahan-lahan  bergerak mengambil rokok dan korekku yang ada di sampingNya. Ia melirik  dan kemudian menatapku sekilas, Ia dorong benda itu ke arahku. Kuambil  sebatang dan kunyalakan. Kami berdua merokok sekarang. Bayangkan! Aku  merokok bersama Tuhan, di kamar kosku.

"Ada makanan apa di sini?"  Ia tiba-tiba bertanya sambil menatapku. Ia tampak lebih tenang  sekarang, tidak dikuasai lagi oleh emosiNya. Pikiranku bergerak lambat  mengingat makanan apa yang masih tersisa. Hanya sebungkus biskuit coklat  yang sebagian sudah kumakan. Aku bangun dari dudukku, berjalan melintas  di depanNya untuk mengambil biskuit itu. Aku berjalan dengan agak  kikuk, perasaanku aneh, menyadari aku tengah berjalan berdiri lebih  tinggi di depan Tuhan yang kini duduk termenung-menung di lantai. Persis  aku biasanya duduk, persis seperti bagaimana manusia pada umumnya  duduk.

Biskuit dan sebotol air minum kuletakkan di lantai di  dekatNya. "Cuma ini yang ada, sebagian sudah kumakan pula," berhenti  sebentar kutambahkan, "maaf..." "Oh tenang aja. Gak apa-apa. Aku nggak  lapar kok." Ia mulai membuka bungkusnya yang kulipat dan kurekatkan  dengan solatip bening. Meletakkan isinya di lantai, mengambil sebongkah  biskuit coklat, dan mulai makan.

Pertama Ia seekor kutu, kemudian  manusia, lantas merokok, sekarang Ia makan biskuit coklat yang tinggal  setengah bungkus. Pikiranku sulit berkonsentrasi melihat dan  memikirkannya. Ini sungguh ajaib. Sungguh tidak masuk di akal. Tetapi Ia  memang di sana di depanku, sedang makan sambil memegang rokokNya yang  tinggal sedikit di tangan yang satunya. Manusia paling gila pun mungkin  akan mengutukiku dan menganggapku gila jika kuceritakan tentang ini.  Tapi sungguh, Ia ada di depanku, Ia sedang makan, dan aku  sadar-sesadar-sadarnya. Kuharap kau pun tidak ikut menganggapku gila,  aku menaruh harapan padamu, maka kutuliskan hal ini, supaya kau dapat  membacanya. Aku harap kau mengerti, walaupun ini sulit dipercaya, dan  aku pun mungkin tidak percaya jika kau yang menceritakan hal ini padaku.  Tetapi tolonglah untuk percaya.

Jika kukatakan aku bertemu Tuhan  yang sungguh agung bersinar-sinar dengan jubah putih berkilauan,  berjanggut putih berambut gondrong yang juga putih, dengan tongkat di  tangannya serta lingkaran halo di belakang kepalanya, kau boleh curiga  bahwa aku cuma berbohong atau sedang ngelindur ketika aku mengalaminya.  Tetapi justru yang bertemu denganku bukanlah Tuhan semacam itu, bukan  Tuhan yang selama ini digambarkan atau tergambarkan oleh orang-orang.  Ternyata Tuhan hadir sebagai seekor kutu, dan sekarang Ia manusia yang  sedang makan biskuit coklatku, mengunyahnya perlahan-lahan, menelannya,  dan menghisap lagi rokoknya.

Tuhan yang selama ini digambarkan,  tuhan berjenggot dan berkilauan itu, sesungguhnya memang, tau dari mana  para nabi-nabi itu bahwa Tuhan memang berwujud seperti itu, terlebih  lagi, tau dari mana mereka bahwa yang mereka kenal adalah memang sungguh  Tuhan. Seperti yang Tuhan - yang sesungguhnya - katakan padaku. Melihat  tingkah lakuNya, mendengar ucapanNya, aku justru mulai percaya bahwa  Dia yang duduk di depanku itu adalah Tuhan. Tuhan yang sebenarnya.

Melihat  Ia sudah tenang kembali dan bahkan sedikit terhibur karena biskuit  coklatku, aku mulai bertanya lagi, "Tuhan, apakah Kau menciptakan  takdir?"

"Aku tak akan repot-repot mentakdirkanmu menjadi seorang  pembunuh hanya untuk kemudian memasukkanmu ke dalam neraka. Aku yang  mentakdirkanmu, tetapi aku juga yang menghukummu atas takdir yang  kuberikan. Itu namanya nggak ada kerjaan. Perbuatan bodoh."

"Berarti manusia bebas melakukan apa yang diinginkannya?"

"Sederhananya  begitu. Intinya aku tidak mau repot-repot menciptakan takdir untuk  masing-masing daripadamu." Ia menutup ucapannya sambil mematikan rokok  di dalam asbak.

Pikiranku serentak melayang-layang, membayangkan  apa yang selama ini telah dipercaya oleh manusia sebagai takdir. Mulai  dari tetanggaku yang percaya ia ditakdirkan untuk tidak lulus pada  semester kemarin, kawan masa kecilku yang orang-orang percaya ia memang  telah ditakdirkan seperti itu ketika ia meninggal tertabrak truk  tronton, para presiden dan raja-raja yang percaya pada takdirnya sebagai  raja, hingga bangsa-bangsa yang percaya pada takdir bangsanya  masing-masing. Rupanya memang semua orang pun gila. Dan aku menjadi  tidak terlalu khawatir kalau ternyata aku memang gila.

Terutama  semua orang yang percaya takdir, memang sekarang menjadi nyata buatku  bahwa mereka gila. Pamanku ditakdirkan jadi seorang pengedar  obat-obatan, dan sesudah mati nanti ia akan diadili atas perbuatan yang  telah ditakdirkan untuk ia lakukan. Itu sungguh konyol. Bagaimana pula  dengan bangsa Israel yang selama ribuan tahun mempercayai bahwa ialah  bangsa yang ditakdirkan untuk terpilih. Kalau bukan kegilaan mereka,  berarti sekadar kebohongan belaka. Tetapi bagaimanapun, kata Tuhan,  maksudku Tuhan yang sebenarnya yang sekarang duduk di depanku, Tuhan  yang katanya memilih mereka itu adalah Tuhan bohongan. Berarti seperti  apa pun ceritanya, mereka pasti pembohong, atau sekali lagi, gila.

Nah  sekarang Tuhan yang sesungguhnya ada di depanku, ... apakah mungkin Ia  kini ada di hadapanku karena Ia telah memilih bangsa ini? Aku membelalak  sekilas karena memikirkannya. "Apakah bangsaku adalah bangsa yang  terpilih, Tuhan?"

"Maksudmu? Aku tak memilih bangsamu. Kalau dapat memilih, aku memilih untuk meminta sebatang rokok lagi."

Aku  tidak langsung mengerti dengan ucapanNya. Setelah mencernanya sejenak  dan mengerti, langsung kusodorkan lagi rokok ke arahNya, dengan korek  apinya sekaligus.

"Maksudku seperti cerita tentang bangsa Israel..."

Ia  tak langsung menjawab, melainkan mengambil sebatang rokok dari dalam  bungkus, memasangnya di mulut, dan menyalakannya. Kali ini dengan  isapan-isapan pendek. Asap mulai mengepul-ngepul, menatap sekilas pada  rokoknya, baru Ia menjawab. "Tuhan kok memilih satu bangsa di antara  bangsa-bangsa lainnya. Yang kayak begitu itu ya cuma Tuhan karangan  bangsa itu dhéwék, atau kalo emang ada yang seperti itu ya artinya itu  Tuhan fasis!" Cara bicara dan mimik mukaNya benar-benar suatu ekspresi  penghinaan. Seketika mimikNya berubah dan bertanya dengan nada rendah,  "kau mau punya Tuhan fasis? Atau jadi korban fasisme Tuhan?"

Aku  tak dapat menjawabnya. Lagi pula kupikir itu memang cuma sebuah  pertanyaan retorik dariNya. PertanyaanNya kemudian Ia jawab sendiri,  "kurasa kau tak akan mau. Dan aku pun tak mau menjadi Tuhan yang fasis,  Tuhan yang keji."

***

Jadi sudah jelas, yang di hadapanku  ini adalah Tuhan yang sesungguhnya, dan Ia tadi katakan bahwa cerita  yang sesungguhnya bukanlah seperti cerita yang selama ini kita ketahui  atau dengar. Bahkan Ia, Tuhan, bukanlah Tuhan seperti yang orang-orang  katakan tentang Tuhan. Atau biar kukatakan begini, yang selama ini kita  ketahui tentang Tuhan adalah salah, dan orang-orang agama itu selama ini  tinggal menjadi objek penipuan para nabi-nabi mereka. Yang mereka  omongin tentang Tuhan adalah salah, mereka tidak mengenal Tuhan yang  sesungguhnya, dan cerita yang sebenarnya tidak seperti cerita-cerita di  dalam kitab suci itu.

Lucu juga, bahwa manusia telah selama  ribuan tahun berputar-putar dalam lingkaran kebohongan dan kegilaan akan  Tuhan yang ternyata sama sekali salah. Sementara para nabi-nabi di  zaman dahulu itu berbohong atau mengidap kegilaan, memang, manusia  manakah yang akan tau bahwa mereka dulu berbohong, setelah ribuan tahun  seperti sekarang. Kita tak akan tau apakah nabi-nabi itu berbohong, kita  tinggal cuma bisa baca dari tulisan-tulisan di dalam kitab suci, tanpa  tau apakah yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran. Hanya percaya.  Tidak lebih dari itu. Aku jadi tersenyum-senyum membayangkannya. Dan  semakin bertanya-tanya, Tuhan seperti apakah itu Tuhan yang sebenarnya,  yang ada di hadapanku ini? "Apakah Kau pendendam, Tuhan?"

"Aku  bisa mendendam. Tentu saja. Tapi aku bukan pendendam." Ia tertawa kecil  setelah jawabanNya itu. Sepertinya ada yang lucu di sana, sepertinya ada  yang menggelitikNya tentang cerita itu. "apa kau mau punya Tuhan yang  pemarah sekaligus pendendam, yang membunuh ribuan bayi-bayi kecil di  Mesir hanya untuk mendatangkan seorang nabi? Yang marah-marah lantas  menenggelamkan seisi dunia dalam air bah? Atau yang mengutuk manusia  yang satu sementara meninggikan manusia yang lain? Keji sekali Tuhan  seperti itu. Aku bukan Tuhan semacam itu."

Setelah tertawa halus,  Ia teruskan lagi, "Kuberitahu padamu, Tuhan yang kau kenal itu, sungguh  keji. Dan dia bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Akulah Tuhan. Tetapi  bukan Tuhan yang keji seperti itu. Aku bukan Tuhan yang menuntut seisi  alam semesta untuk menyembahku, aku tidak gila hormat, aku tak akan  kirim orang yang menghujatku ke dalam api neraka jahanam seperti yang  katanya dilakukan oleh Tuhan dongeng itu."

Ia tersenyum-senyum  ketika mengatakannya. Rupanya cerita tentang betapa pendendam dan  pemarahnya Tuhan, maksudku Tuhan yang bohongan, yang dipercayai oleh  umat manusia, membuatNya merasa geli. Memang aku pun merasa, akan  menjadi tontonan yang lucu, seandainya ada seonggok boneka yang  orang-orang anggap adalah diriku. Tetapi, "apakah Kau Tuhan yang  pencemburu?"

Singkat, jelas, dan padat, Ia menjawab sederhana,  "kalau aku pencemburu, sudah kumusnahkan semua manusia seisi dunia yang  bebal dan tak tau adat ini!" Lalu Ia tertawa cukup lepas. Rupanya tidak,  Ia sama sekali bukan Tuhan pencemburu seperti yang dikatakan orang.  Bahkan Tuhan yang sebenarnya memandang tragedi kesalahkaprahan manusia  menyembah Tuhan-Tuhan palsu menjadi hal lucu untukNya.

***

Melihat  Ia tertawa lepas aku langsung kembali dari perjalananku dalam  pemikiran. Aku langsung menyadari keberadaanku, kembali lagi ke dalam  diriku yang tengah terduduk di lantai bersama Tuhan. Bersama Tuhan! Ada  Tuhan di hadapanku. Benar-benar Tuhan dan bukan sekadar tulisan, patung,  ukir-ukiran, ataupun segala rupa hal lain yang terwakilkan oleh bentuk  atau cuap-cuap para pemuka agama. Tuhan ada di sini bersamaku. Aku  menjadi sedikit merasa konyol dan menjadi canggung lagi. Bagaimana  sikapku seharusnya pada Tuhan? Apakah memberi setengah bungkus biskuit  coklat, rokok, dan air putih sudah cukup sopan untuk menyambut  kedatangan Tuhan? Atau harus kulakukan yang lain? "Apakah aku, dan  manusia lain, ... perlu berdoa kepadaMu, Tuhan?"

"Untuk apa?  Manusia sendiri yang mengatakan bahwa aku maha tau. Tentu, kalau aku  mau, aku tau apa yang ingin kau ucapkan dalam doa."

"Memang...  tapi berdoa padaMu kan belum tentu berarti meminta sesuatu. Bisa juga  manusia berdoa untuk berterimakasih kepadaMu... mengekspresikan..."

Sekali  lagi kata-kataku dipotong ketika aku belum selesai bicara, "tetap saja,  untuk apa? Kau mau meminta, berterimakasih, curhat, atau mengutukku  sekalipun, aku toh sudah tau apa yang hendak kau katakan. Lalu untuk apa  lagi kalian membuatku sibuk dengan segala ocehan kau dan semua mahluk  manusia di dunia? Bisa dikatakan kalian justru menghinaku kalau masih  tetap saja berdoa padaku. Seperti memberitahukan sesuatu kepada  seseorang bahwa besok matahari akan terbit di Timur, yang mana  jelas-jelas sudah diketahui oleh orang itu. Apakah orang yang  memberitahu itu menganggap yang diberitahu sedemikian gobloknya sehingga  tidak tau apa yang diberitahukannya?"

Kata-kataNya menyeretku  kembali ke dalam jalan-jalan pemikiran yang membuatku termenung-menung.  Benar juga apa yang diucapkanNya, memang tidak perlu berdoa. Tetapi  kalau begitu, kalau Tuhan sungguh maha tau sehingga kita tidak perlu  lagi berdoa padaNya untuk memberitahukan apa yang jelas semestinya sudah  diketahuiNya, mengapa ia masih perlu memberi ujian atau cobaan kepada  manusia? Tetapi tunggu, apakah Ia memang mencobai manusia? "Tuhan,  apakah Kau mencobai manusia?"

"Mencobai? Kata-kata macam apa itu?? Apa maksudmu?"

Ia  mengatakan 'mencobai' dengan nada dan ekspresi yang menunjukkan  kejijikan. Tiba-tiba aku heran juga, bagaimana Ia dapat mengaku bahwa Ia  maha tau, sementara Ia tidak mengerti apa yang kukatakan ini, sepotong  kata sederhana sesederhana 'mencobai'? Tetapi biarlah itu nanti saja  akan kutanyakan. Satu per satu.

"Maksudku memberi ujian, memberi cobaan pada manusia...?"

"Sepertinya  kau yang sedang ... mencobai ... aku. Kan sudah kukatakan aku maha tau.  Tanpa ... mencobai dirimu pun aku sudah tau bagaimana itu dirimu, dari  ujung kuku jempol kakimu, hingga sejentik ketombe di pucuk rambutmu. Kau  jangan bawa-bawa ajaran sesat tentang Tuhan agama-agama itu, itu semua  kebohongan. Tuhan yang dikatakan nabi-nabi itu mesti saja sungguh  dablek, apa gunanya lagi mencobai manusia yang - katanya - ia ciptakan  sendiri kalau ia memang benar-benar maha tau, sehingga semestinya ia tau  segala sesuatu tentang manusia itu. Iya kan?"

Sebelum sempat aku  mulai berpikir lagi, Ia sudah menambahkan, "dan Tuhan palsu itu, yang  sekarang dikenal, merasa perlu menyuruh seorang nabi membantai anaknya  sendiri, hanya untuk mengetahui kadar iman dan kesetiaannya. Dan Tuhan  palsu itu juga mengirimkan azabnya kepada berjuta-juta manusia di muka  bumi, dalam bentuk kelaparan, penyakit-penyakit, kematian, kemelaratan,  penderitaan, semua itu hanya untuk sekadar 'mencobai'? Aku tak habis  pikir bagaimana Tuhan yang semacam itu dapat disebut Tuhan? Yang maha  tau pula!" Terdengar ekspresi kejijikan yang sama setiap kali Ia  mengucapkan kata 'mencobai'.

Selain tidak membutuhkan doa-doa  dari manusia, rupanya Tuhan yang tampak nyenterik ini tidak juga memberi  cobaan pada manusia. Karena Ia maha tau, katanya. Tapi tadi Ia sendiri  kebingungan tentang kata 'mencobai' yang kuucapkan. Bagaimana mungkin Ia  maha tau, kalau begitu? Tapi sekali lagi itu nanti saja, ada satu hal  lain yang harus kutanyakan dulu kepadaNya. Tuhan, yang sesungguhnya,  memang tidak ... mencobai (aku pun menjadi agak jijik dengan kata itu)  manusia, tetapi bagaimana dengan setan dan iblis yang melakukan dan  menyebabkan segala yang jahat di muka bumi? "Apakah setan dan iblis itu  ada, Tuhan?"

"Ah itu pun bohong, para nabi-nabi yang dungu itu  cuma membutuhkan kambing hitam saja untuk segala keburukan. Mereka  mati-matian berusaha untuk menjaga supaya nama Tuhannya, yang palsu itu,  tetap bersih suci, maka mereka limpahkan segala yang buruk kepada setan  dan iblis. Sesungguhnya justru, berbeda dengan yang dikatakan oleh para  nabi-nabimu, semestinya aku dan iblis adalah satu, tidak terlepas dan  terpecah menjadi dua seperti yang mereka percaya."

Ia ambil botol  air mineral, membuka tutupnya, dan menempelkan lobangnya ke mulut.  Seperti kehausan karena telah tanpa henti berbicara menjawab pertanyaan  demi pertanyaanku, Ia minum cukup banyak, berteguk-teguk air meluncur  melalui tenggorokanNya dengan bersuara. Aku dapat mendengarnya.

Setelah  selesai, sambil menutup kembali botol air minumku, Ia seka mulutNya  dengan lengan kaos oblongNya, dan segera melanjutkan, "aku ini Tuhan,  dan karena aku Tuhan, aku mesti mencakupi segala sifat dan keadaan yang  ada, baik atau buruk. Aku bukan hanya maha yang positif, maka aku pun  mesti maha yang negatif, demikian barulah aku dapat dikatakan sebagai  Tuhan. Manusia sendiri yang mengatakan, Tuhan adalah maha segalanya.  Jadi jika salah satu sisi telah dipecah dan dipisahkan kepada pihak yang  lainnya, maka jadilah aku Tuhan yang cacat, yang tidak lagi maha  segalanya, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan Tuhan." Ia berhenti  sebentar seperti memeriksa kembali apa yang sudah dikatakanNya, kemudian  baru berkata "kau mengerti tidak?"

Aku mengangguk-angguk  mendengarkan jawabanNya, bahkan sesudah Ia selesai bicara pun aku masih  mengangguk-angguk, dengan hanya sekilas mengucap "ya... ya..." karena  disibukkan oleh pikiran yang tengah mengaduk pikiranku. Pemikiran  tentang Tuhan yang baru saja diperkenalkan kepadaku oleh Tuhan sendiri.  Bahwa Tuhan yang maha segalanya semestinya juga mencakupi baik dan  buruk, positif dan negatif, besar dan kecil, segalanya, dan oleh karena  itu pemisahan segala sifat yang negatif ke dalam diri iblis, setan, atau  siapapun itu justru akan membuat Tuhan itu sendiri menjadi tidak lagi  sempurna, tidak lagi maha segalanya. Hampir tanpa sadar, mengikuti  pikiranku itu, aku menggumam, "jadi, ... Kau maha segalanya?"

Dan Ia hanya menjawab dengan penuh optimisme, "Kalau tidak demikian aku tidak disebut Tuhan!"

***

Dengan  segera topik tentang kemahaanNya itu membuatku terpikir, semestinya Ia  juga maha adil! Lalu bagaimana dapat segala ketidakadilan dan kehancuran  dunia sekarang ini terjadi? Mengapa Ia tidak memperbaikinya, atau  setidaknya membuatnya jadi lebih baik, atau menunjukkan batang hidungnya  dan mengatakan dengan tegas apa yang Ia kehendaki? Aku memutuskan untuk  menanyakan hal itu kepadaNya, tetapi dengan perlahan-lahan.

"Tuhan, berarti Kau maha adil juga?"

"Perlu ditanya? Tentu saja!"

"Lalu...  maaf... tapi kalau Kau maha adil, bagaimana dunia ini dapat menjadi  dunia yang sangat tidak adil seperti sekarang? Yang dipenuhi dengan  kejahatan dan pembunuhan, yang rusak berantakan, dan sangat  amburadul...?"

Aku mengatakannya dengan sedikit hati-hati, secara  tidak sadar aku takut Ia sampai marah atau tersinggung karena  pertanyaanku. Tetapi ternyata Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalaNya  dengan ringan, dan kemudian sambil berkata "ck.. ck.. ck.. kau belum  mengerti juga ya?"

Ia menatap ke lantai dan mematikan rokok yang  sejak tadi sudah tidak lagi dihisapNya, lantas berbicara "justru itu  intinya. Aku ini maha adil, dan oleh karena itu aku tidak dan tidak  dibenarkan dan tidak dapat memihak kepada pihak yang manapun yang ada.  Aku harus membiarkan segalanya terjadi tanpa campur tanganku, keadilanku  adalah keadilan yang utama, keadilanku benar-benar merupakan suatu  kenetralan absolut, di mana aku tak menghadirkan diriku di mana pun,  bahkan aku tak ambil peduli terhadap apapun, bagaikan bahwa aku ini  tidak ada."

Kali ini apa yang dikatakanNya agak sulit untuk  kucerna, tetapi perlahan-lahan dapat juga kumengerti. Ia maha adil  justru karena Ia tidak memihak kepada apapun, entah itu baik atau pun  buruk, maka dengan demikian segalanya terbebas dan mesti Ia bebaskan  dari campur tanganNya, membiarkan segalanya mengalir dan terjadi tanpa  Ia perlu dan boleh ambil perduli. Ia maha adil karena Ia maha segalanya,  dan dengan demikian Ia menjadi sungguh netral secara absolut dalam arti  yang sesungguhnya.

***

Berarti semestinya... "Tuhan...  kalau Kau tidak memihak kepada sisi yang manapun, berarti Kau pun tidak  memaksakan... atau katakanlah meminta manusia untuk melakukan perbuatan  baik?"

"Tentu saja tidak. Itu kan Tuhan dongeng, yang dikatakan  para nabi-nabi itu. Sementara aku nggak begitu. Aku nggak ngancem, juga  nggak minta-minta kau melakukan perbuatan apapun. Sakarepmu dhéwék!"

"Bagaimana  dengan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan manusia, Tuhan? Seperti  memperkosa, merampok, membunuh, ... perang, penindasan, dan  lain-lain... apakah Kau akan menghukumnya?"

"Kau sebut apa itu tadi segala macem memperkosa, merampok, membunuh, dan lain-lain?"

Kujawab "... perbuatan buruk..." dengan sedikit ragu dan sekaligus dengan nada yang seperti sebuah nada untuk bertanya.

"Nah  itu udah tau. Buruk. Semestinya yang buruk ndak usah dilakukan, toh?  Aku ngga ambil pusing dengan apa yang kalian lakukan di sini. Sabodo  teuing."

Setelah mengatakan yang terakhir itu, tiba-tiba Ia  mengangkat punggungNya yang sebelumnya disenderkan di lemari. Ia ambil  botol air mineral dan minum kembali. Kali ini sedikit. Setelah selesai  minum, sambil menutup botol Ia berkata "sudah ya, aku mau tidur dulu.  Capek nih!"

Aku tergagap-gagap melihatnya perlahan-lahan  meletakkan botol air mineral ke lantai. Ada sesuatu yang belum  kutanyakan, tetapi aku agak sulit untuk mengingatnya. Ada yang  terlupakan yang kutunda sebelum aku sempat bertanya. Aku merasakan  keterburu-buruan untuk mengingat, hingga tiba-tiba aku teringat dan  berkata dengan cukup keras "Oh! ... Tuhan! Ada yang belum kutanyakan...  kalau Kau maha tau, kenapa sepanjang percakapan kita sepertinya Kau...  tidak maha tau... setidaknya Kau tidak tau tentang kata 'mencobai'...?"  Keningku terasa berkerut ketika menanyakannya.

"Ah. Kau tak punya  rasa humor!" Hanya itu jawaban yang kemudian Ia berikan, sebelum  tiba-tiba setelah mataku terbuka dari sebuah kedipan yang amat singkat,  Ia telah menghilang, berubah bentuk menjadi seekor kecoak di sudut  lemari pakaianku, di atas lantai.

Aku merangkak ke depan perlahan-lahan, dan bertanya, "Tuhan, apakah kita akan bertemu lagi?"

Sambil  membalik arah tubuhNya menuju ke almari, dan entah bagaimana menurutku  Ia tengah tersenyum lebar, Ia menjawab, "itu rahasia ilahi."

Setelah itu Ia mulai bergerak perlahan, dengan tanpa suara menyelip masuk ke kolong lemari pakaianku, menghilang di dalamnya.

***

Itulah  pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan Tuhan. Ketika Ia  berjalan memasuki kolong lemari pakaianku, sebagai seekor kecoak, adalah  terakhir kalinya aku melihatNya.

Sekarang telah berselang dua  hari sejak kejadian itu. Sepanjang dua hari ini aku sering sekali  terbengong-bengong memikirkan apa yang terjadi di subuh hari dua hari  kemarin, yaitu bahwa Tuhan telah datang ke dalam kamarku, sebagai seekor  kutu, yang kemudian menjadi manusia, dan terakhir menjadi kecoak. Tuhan  bukan hanya datang, tetapi juga berbicara dan mengobrol denganku,  menghisap dua batang rokokku, minum dari botol air mineral milikku, Ia  juga bahkan makan biskuit coklatku, yang tinggal setengah bungkus itu.

Selama  dua hari ini aku hampir-hampir tidak dapat percaya pada apa yang  kualami. Tetapi bagaimana aku dapat tidak percaya, jika ada tiga batang  puntung rokok yang tergeletak di dalam asbakku, dan juga kini biskuit  coklatku telah habis tanpa sisa. Dan yang membuatnya demikian, maksudku  yang menghisap rokok yang dua batang, dan yang memakan biskuit coklatku,  siapa lagi kalau bukan Tuhan.

Aku sungguh-sungguh bingung. Aku  tak tau harus bagaimana. Bahkan aku tidak tau apakah sebaiknya  kuceritakan hal ini kepada orang lain. Kepada pacarku sendiri aku belum  menceritakannya. Tidak juga kuceritakan tentang berbagai macam hal yang  Tuhan ceritakan kepadaku. Tetapi bagaimanapun aku harus menceritakan hal  ini kepada seseorang. Seseorang yang kupercayai dan dapat memberiku  pendapat yang benar.

Setelah berpikir demikian, aku segera  menghubungimu lewat telepon, aku akan membuat janji untuk bertemu  denganmu. Tetapi ternyata kau sedang pergi dan baru akan kembali tiga  hari ke depan. Maka kuputuskan untuk menuliskan terlebih dahulu semua  ini, agar ingatan-ingatanku tentang perjumpaan dengan Tuhan dua hari  yang lalu itu masih jernih di dalam benakku.

Yang kuharapkan  adalah profesimu sebagai psikiater dapat memberi masukan-masukan dan  pendapat yang berharga untuk apa yang kualami. Setelah ini aku akan  meletakkan surat ini di meja kerjamu di Rumah Sakit Grogol, mohon kau  dapat menghubungiku dengan segera setelah kau pulang dan kembali  bekerja. Terimakasih.

Kawanmu.

2 comments:

  1. Anonymous25/3/16 12:47

    Dear writer
    Ada keseriusan logical error dalam tulisan ini,jika dirangkum ini adalah tipikal argumen ateis yang dibungkus dalam satir.
    Saya sebenernya pengen bahas satu2, seriously, but it just all over the place and i dont know where to start.
    Ada juga inkonsistensi yang kamu jg sadari di bagian akhir kemudian ditutupi dengan sanggahan humor. However it was still an inconsistency.
    Pendapat saya, kamu hanya menginginkan Tuhan yang sesuai dengan gambaran yang kamu inginkan, dan menolak memahaminya dari sisi yang berbeda. Sehingga hanya memberi makan otakmu dengan materi2 yang sesuai dengan keinginanmu/maksudmu. Persis seperti gambaran/pandangan seorang anak kepada orangtuanya. Anak2 belum mengerti jika orangtuanya marah adalah demi perkembangan sang anak, mereka cuma merengek menganggap bapake jahat,tidak sayang,dsb, overall just dont fit his childish image of a father. Same goes to the writings. Kalau kamu sudah punya anak dan sudah mulai tumbuh pada umur2 tertentu, kamu bisa sedikit mencicipi bagaimana Tuhan Bapa mendidik dan menyayangi anak2nya. Sebagai seorang ayah pasti menginginkan yang terbaik utk anaknya, dan tidak selalu hrs dibelai, kadang hrs dimarahi, tough love. Dan oleh karena selalu menginginkan yg baik bagi anaknya, maka argumen maha adil itu adalah netral is absolutely horrible. Bahkan hakim pun harus berpihak pada kebenaran, ya betul ia tdk boleh berpihak pada individu tertentu, tp ia berpihak pada kebenaran, bukan pd kejahatan.
    Melihat dr tulisan2mu kamu bukan amatiran, jadi pasti banyak membaca atheist lainnya seperti Dawkins. Masukan positif dr saya, try to read Dr.Edward Feser, ada bukunya 'Aquinas' yang menjabarkan summa theologica St.Thomas Aquinas secara lbh baik ketimbang penjelasan2 singkat yg sudah kuno mengenai summa theologica. Summa contra Gentiles juga bagus. And all of them is very logical, you cannot deny the conclusion without denying the premises.
    Semoga berguna ya :)

    ReplyDelete
  2. Anonymous8/8/18 16:07

    ateis itu mengenal yang Hakiki cuman lagi tertunda :)

    ReplyDelete

Popular Nonsensical Matters