28 October 2016

Riwayat Ruang

Makna ruang selalu berubah-ubah di sepanjang sejarah manusia, mengikuti struktur politik, relasi ekonomi, dan cara berproduksi yang dihidupinya. Tulisan ini adalah sebuah gambaran kasar, sangat kasar, tentang proses pergerakan sejarah tersebut dan keterkaitannya dengan ruang kehidupan manusia.

***

Ketika jumlah spesies manusia masih sedemikian sedikitnya di muka bumi, tersedia ruang kehidupan yang sangat berlimpah ruah. Tetapi di awal peradabannya manusia memiliki kemampuan yang minim dibandingkan dengan alam di sekitarnya; kemampuan mengatasi, memanipulasi, dan memanfaatkan alam sekaligus bertahan dari serangan-serangannya. Ada bahaya yang mengancam di luar sana, ada lingkungan yang tidak dapat menunjang kehidupan, ada ruang kehidupan yang dikuasai oleh predator, bahkan ada ruang yang tidak dapat dimasuki sama sekali. Secara subjektif alam menjadi sangat terbatas, sangat sempit bagi mereka.

Lalu, satu-satunya jalan untuk bertahan hidup bagi manusia-manusia primitif adalah dengan bekerjasama. Akibat volume otak yang lebih besar, selain menggunakan alat dan mengembangkan bahasa, kemampuannya untuk bekerjasama adalah hal utama yang menunjang kelestarian spesies manusia di awal kehidupannya. Mereka bekerjasama dalam mengkoordinasi aksi dan aktivitas, mereka bekerjasama untuk mendapatkan makanan dan mempertahankan ruang kehidupan mereka.

Pada masa primitif itu, teknologi yang dikuasai manusia hanyalah sebatas untuk menciptakan alat-alat genggam sederhana yang sangat mudah untuk diduplikasi, sangat mudah untuk didapatkan dan dibuat. Mereka juga hanya dapat memanfaatkan tempat-tempat yang telah disediakan oleh alam untuk tempat hidupnya dan mereka belum lagi menguasai kemampuan bercocok-tanam. Semua anggota masyarakat dapat memiliki alat yang relatif sama dan hidup di tempat yang sama tanpa mampu menghasilkan surplus yang dapat disimpan untuk waktu yang lama, sehingga tidak memungkinkan terjadinya dominasi individual terhadap kelompoknya atas dasar kepemilikan atas alat maupun cadangan pangan, sementara keunggulan individual pun sangat terbatasi oleh ketergantungan sang individu untuk bekerjasama dengan kelompoknya.

Cara leluhur kita berproduksi, sistem kepemilikan mereka atas alat produksi, menentukan bentuk sistem ekonomi Komunalisme Primitif yang mereka hidupi. Dan bentuk sistem ekonomi tersebut pada gilirannya akan tercermin pada cara mereka menempatkan diri di dalam ruang kehidupannya. Adalah tidak masuk akal, tidak menunjang survivability, tidak menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, dan pada dasarnya tidak dapat mereka lakukan; untuk memecah dan membagi-bagi ruang kehidupan menjadi kepemilikan privat. Mereka memiliki, mengelola, dan mengamankan ruang kehidupannya bersama-sama.

***

Manusia yang berjalan dengan tegak sehingga membebaskan kedua tangannya, penggunaan alat, kemampuan berkomunikasi, dan kerjasama yang dilakukan terus menerus mendorong teknologi yang mereka kuasai. Dari penciptaan alat-alat genggam paling awal, senjata yang dapat menjangkau jarak yang lebih jauh, metode berburu yang lebih maju, hingga mereka mulai memanipulasi alam tempat hidupnya. Dan manipulasi alam yang terpenting yang mereka lakukan adalah dengan sengaja menanam bibit tanaman pangan di tempat-tempat tertentu yang memungkinkan mereka untuk mengumpulkan hasilnya secara lebih teratur dan terorganisir: Mereka mulai bercocok tanam.

Dampak dari manipulasi alam dan bercocok tanam adalah meluasnya ruang kehidupan mereka. Dengan keuntungan berupa tambahan bahan pangan yang bisa dihasilkan, mereka merambah wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak berguna untuk dikuasai, mereka menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki nilai produktivitas. Maka untuk pertama kalinya ruang kehidupan memiliki nilai ekonomis yang signifikan bagi manusia.

Lalu terjadilah rantai sebab-akibat yang merevolusionerkan perikehidupan manusia-manusia primitif: Tingkat produktivitas yang terus-menerus meningkat akibat kemampuan mereka memanipulasi alam, menguasai wilayah baru, dan bercocok tanam menghadirkan surplus pangan yang dapat disimpan dan dicadangkan, memberikan kesempatan untuk peningkatan jumlah populasi secara signifikan. Selain kesempatan, peningkatan jumlah populasi adalah juga kebutuhan dari masyarakat yang mendapatkan bahan pangannya dari bercocok tanam. Semakin meningkat produktivitas mereka, semakin bertambah jumlah populasinya, semakin luas bentang alam yang dapat dikuasai, semakin banyak tanah yang dapat diolah menjadi sumber pangan, maka semakin meningkat pula produktivitasnya.

Kemunculan surplus dalam produksi pangan dan ekspansi ruang kehidupan membuka jalan untuk banyak perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Empat hal yang terpenting adalah dimulainya spesialisasi pekerjaan, lahirnya perbudakan, terbitnya sistem keluarga, dan mulai dikenalnya hak kepemilikan pribadi.

Meskipun seluruh spesies manusia sama-sama berasal dari Afrika Timur, puluhan ribu tahun pengembaraan dan keterpisahan lintas generasi membuat mereka tidak lagi saling mengenal satu sama lain ketika mereka dipertemukan kembali akibat ekspansi ruang kehidupan. Pertemuan-pertemuan antar kelompok-kelompok manusia tersebut membuat ruang kehidupan yang telah memiliki nilai ekonomis menjadi bersifat politis. Hak kepemilikan kelompok atas ruang kehidupan tertentu menjadi penting, pertentangan kepentingan timbul, selama ribuan tahun, mulai dari konflik-konflik pertama antar kelompok, hingga akhirnya pertikaian, perebutan, dan saling memerangi antar kelompok.

Sementara itu, surplus produksi memungkinkan sekelompok manusia untuk melepaskan sebagian dari anggota kelompoknya dari aktivitas produksi, sehingga memunculkan spesialisasi pekerjaan di luar aktivitas produksi. Adanya konflik-konflik yang terjadi antar kelompok memunculkan keperluan akan orang-orang yang bertugas khusus untuk mengamankan proses dan hasil produksi kelompok; melahirkan bentuk tentara profesional yang pertama. Kesempatan dan keperluan peningkatan populasi membuat kaum perempuan berulang-kali mengalami kehamilan, melahirkan, mengurus keturunan, lalu hamil lagi di sepanjang hidupnya, dan seterusnya; menjadi titik awal domestikasi kaum perempuan. Semakin bertambahnya populasi berarti semakin bertambahnya tenaga kerja, berarti pula semakin bertambahnya kebutuhan akan alat-alat; memunculkan orang-orang yang secara khusus bertugas untuk membuat alat-alat tersebut. Dan berbagai macam spesialisasi pekerjaan lainnya, yang adalah merupakan cikal-bakal paling awal dari perdagangan.

Lalu ketika konflik benar-benar terjadi, akan ada kelompok yang menang dan akan ada kelompok yang kalah. Binatang tidak menghasilkan surplus pangan dan menimbunnya, binatang juga tidak bercocok tanam mengolah tanah, sehingga ketika pertikaian terjadi binatang hanya memiliki  pilihan untuk membunuh atau melepaskan musuhnya. Berbeda dengan binatang, manusia menghasilkan surplus dan menimbunnya, dan akan ada wilayah produktif baru yang harus ia olah setiap kali ia memenangkan konflik. Manusia memiliki pilihan ketiga, yang dapat diinterpretasikan pula sebagai keniscayaan. Membunuh musuh mendatangkan risiko penyakit dan hewan buas dari mayat yang ditinggalkan, menguburnya malah menjadi pekerjaan tambahan bagi pemenang. Sementara melepaskan kembali musuh hanya akan menjadi bumerang manakala mereka membalas dendam. Pilihan yang paling masuk akal bagi para pemenang waktu itu adalah untuk menangkap musuh-musuh mereka, hidupi dengan sesedikit mungkin sumber daya yang diperlukan, lalu paksa para tahanan itu untuk bekerja bagi mereka. Terbebas dari persoalan mayat-mayat, terhindar dari perkara pembalasan dendam, dan yang terpenting, trofi perang berupa ruang-ruang baru dapat diolah dengan produktif dengan memanfaatkan tenaga para tahanan perang: Perbudakan kuno.

Ciri khas bentuk produksi bercocok-tanam adalah keterikatan pada tanah di suatu tempat tertentu. Jika pada awalnya anggota kelompok masih dapat hidup bersama-sama untuk menggarap tanah yang sama di sekeliling mereka, sejak terjadinya ekspansi ruang kehidupan, dengan didorong oleh pertambahan populasi, adanya anggota kelompok yang menjaga keamanan, dan dimulainya perbudakan, maka kemudian mereka hidup terpisah-pisah di lokasi yang berjauhan. Di lokasi-lokasi yang terpisah-pisah itu secara otomatis mereka membentuk kelompok-kelompok kecil lagi yang terdiri dari pasangan dan keturunannya. Konsekuensi dari hal itu, di masa inilah sistem keluarga pertama kali mendapatkan bentuk dan maknanya.

Meskipun pada dasarnya seluruh anggota kelompok tetap saling terikat dan dalam ketergantungan satu dengan yang lainnya, tetapi surplus produksi, ekspansi ruang kehidupan, spesialisasi pekerjaan, dan terbitnya sistem keluarga menciptakan ilusi bahwa kelompok-kelompok kecil yang baru terbentuk itu tidak saling bergantung dengan kelompok besarnya dan merupakan entitas ekonomi yang terpisah. Keterpisahan ekonomis itu yang kemudian menjadi awal dari konsepsi hak milik pribadi; bahwa mereka dan anak-anak mereka serta keturunan mereka memiliki hak atas tanah yang telah mereka olah dan jaga, alat-alat yang mereka gunakan, tempat tinggal mereka, hasil kerja mereka, dan budak yang mereka hidupi.

Potongan sejarah manusia di masa awal produksi agrikultur ini adalah langkah kaki pertama umat manusia ke dalam revolusi yang kemudian datang bertubi-tubi tanpa henti. Masa ini adalah pertama kalinya mereka memperluas ruang kehidupannya, mengubah cara dan meningkatkan hasil produksinya, serta melahirkan konsepsi-konsepsi baru sesuai perubahan yang dialaminya.

Demikian pula cerminan perikehidupan mereka terhadap ruang kehidupannya. Sifat sistem produksi agrikultur yang memanipulasi alam secara permanen dan spesialisasi pekerjaan menciptakan ruang kehidupan yang terbagi-bagi berdasarkan fungsi sosial-ekonominya; antara ruang produktif dan ruang non-produktif, antara ladang dengan pemukiman, antara pemukiman anggota kelompok dengan budak, antara tempat membuat alat-alat dengan ladang, ladang yang subur dengan yang tidak subur, di tengah dan di pinggir, di daerah berbahaya dan di daerah aman. Selanjutnya keterpecahan ekonomis tersebut menjadi dasar dari keterpecahan politis; dia yang memiliki lebih banyak, lebih subur, lebih aman, lebih di pusat, lebih dekat sumber air, atau lebih tinggi akan memiliki posisi politis yang lebih baik. Dan posisi politis yang lebih baik pada gilirannya akan semakin menjamin kekuatan ekonomi.

Mereka berangkat dari ruang kehidupan yang komunal dan nomaden, lalu berekspansi dan menetap, lalu terpecah-pecah, memberinya nilai ekonomi-politik, dan dimiliki secara privat.

***

Zaman berikutnya adalah penegasan dan pengendapan dari apa yang sudah dimulai pada zaman sebelumnya. Ribuan tahun perjalanan sejarah menciptakan pemenang-pemenang dan pecundang-pecundang baru di hadapan tantangan alam. Bencana, hama, kekeringan, banjir, serangan kelompok lain, hewan buas, dan berbagai macam kegagalan proses produksi menghantui kelompok atau keluarga dengan ruang kehidupannya. Manakala tragedi terjadi, akan ada yang jatuh ke dalam kesulitan dan akan ada yang mendapatkan keuntungan darinya. Tragedi yang diikuti praktik penguasaan, perpindah-tanganan, hutang, bantuan bertukar ketundukkan, dan perampasasan ruang kehidupan secara perlahan mengubah peta ekonomi-politik manusia atas ruang kehidupannya.

Manakala laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju ekspansi ruang kehidupan, terlebih lagi ketika ekspansi ruang kehidupan pun kemudian dilakoni secara strategis, terorganisir, dan terstruktur oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki keunggulan, maka muncullah kelompok kecil atau keluarga tertentu yang memiliki ruang kehidupan jauh melampaui apa yang diperlukannya untuk hidup, dan sebaliknya, muncul pula kelompok kecil atau keluarga yang menjadi anggota kelompok tetapi tidak mendapatkan bagiannya dalam hak kepemilikan atas ruang kehidupan. Agar dapat tetap menghidupi keluarganya mereka harus menyewa lahan yang dimiliki oleh keluarga atau kelompok lain, lalu mengolahnya, memberikan sebagian besar hasilnya kepada pemilik tanah, dan menikmati sedikit dari hasil kerjanya itu.

Jika kepemilikan atas budak kemudian diikuti dengan keharusan untuk memelihara mereka, menghidupi mereka, menyediakan mereka rumah, menjaga kesehatan mereka agar dapat tetap secara optimal menunjang produktivitas, menyediakan tenaga untuk mengontrol kerja mereka, maka orang-orang tanpa kepemilikan atas tanah ini, orang-orang merdeka yang diakui sebagai anggota kelompok; tidak ada tempat tinggal, makanan, pengontrol, dan apapun lainnya yang perlu disediakan bagi mereka. Bagi keluarga-keluarga yang memiliki tanah berlebih, menyewakannya kepada orang-orang merdeka ini lebih menguntungkan daripada mengolahnya sendiri menggunakan budak-budak. Hal ini menjadi titik awal dimulainya bentuk menjual tenaga, bentuk awal perburuhan yang paling pertama, dalam bentuk peasant.

Seiring peningkatan produktivitas akibat perubahan cara berproduksi yang dipicu oleh perubahan struktur kelas-kelas sosial di dalam masyarakat, di antara keluarga-keluarga pemilik lahan pun terjadi stratifikasi lebih jauh. Ditandai dengan adanya keluarga-keluarga tertentu di dalam kelompok yang dianggap mengatasi seluruh keluarga lainnya, akibat perubahan tantangan alam dan dinamika hubungan ekonomi-politik di antara mereka sendiri; hutang budi, perlindungan, bantuan, hubungan darah, dan lain-lain, menjadi bentuk paling awal dari keseluruhan sistem feodalisme yang akan berlangsung selama ribuan tahun berikutnya.

Pertambahan populasi, adanya kelas-kelas yang baru, cara berproduksi yang semakin maju, dan kompleksitas permasalahan yang semakin tinggi mendorong kemunculan instrumen-instrumen sosial baru sebagai tenaga pendorong, sebagai pelumas, sebagai penghilang rasa sakit, sebagai pengalih perhatian, sebagai tipuan-tipuan, sebagai pemersatu, sebagai alasan atas tindakan, dan sebagai justifikasi atas kepemilikan. Dalam bentuk paling vulgarnya, kelas yang  telah berkuasa memiliki kebutuhan untuk membuat kekuasaannya menjadi bersifat permanen dan produktivitas yang tinggi pun membutuhkan stabilitas serta keamanan di dalam kelompok. Pada masa itu, sangat memungkinkan untuk adanya sebagian sumber daya yang harus dikorbankan untuk membiayai institusionalisasi sistem, menciptakan simbol-simbol, doktrin, dan dongeng, mengantarkan zaman feodalisme ke dalam bentuknya yang kita kenal sekarang.

Walau masih berfondasikan sistem produksi agrikultur, tetapi zaman feodalisme merevolusionerkan konstelasi sosial, ekonomi, dan politik umat manusia, yang mengakibatkan perubahan wajah ruang kehidupannya secara radikal pula. Dan yang terpenting adalah di zaman ini tanah telah memiliki maknanya yang baru sebagai alat produksi yang sepenuhnya dikuasai dan dimiliki oleh individu-individu tertentu untuk menciptakan nilai.

Bertambahnya populasi, meningkatnya produktivitas, adanya orang-orang yang hidup tanpa kepemilikan atas tanah, dan semakin kompleksnya hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat membuat spesialisasi pekerjaan menjadi semakin beranekaragam dan mendalam; selain ahli pembuat alat dan penjaga keamanan, kemudian dilahirkan pula oleh zaman ini para ahli bangunan, ahli kesehatan, ahli masalah peternakan, orang-orang yang mengurus administrasi, berdagang, dan orang-orang yang bertugas memberi dosis bius mingguan kepada orang-orang yang sengsara. Di zaman ini pula manusia mulai memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang yang berada jauh di pulau dan benua lainnya, menukar, membeli, atau merampok barang-barang dari seberang lautan untuk mengekskalasi aktivitas ekonomi di dalam masyarakatnya.

Di zaman Feodalisme, untuk pertama kalinya manusia mengalami pemisahan, antara desa sebagai tempat di mana produksi agrikultur dilakukan, dengan kota sebagai tempat di mana banyak manusia tanpa kepemilikan atas tanah berkumpul dan menyambung hidupnya dengan melakukan aktivitas ekonomi selain daripada bidang agrikultur; dari berdagang hingga memproduksi alat, dari seniman hingga memproduksi pakaian, dari melacur hingga menjual ketenangan batin. Fungsi-fungsi ruang di dalam masyarakat pun menjadi semakin kompleks; bukan hanya ruang produktif dan ruang pemukiman, tetapi juga bengkel-bengkel pencipta alat produksi, senjata, pakaian, benda-benda seni, makanan olahan, makanan hasil hewani; lalu barak militer, ruang untuk institusi politik, istana, benteng, kanal buatan, dinding pemisah teritori, monumen, pemakaman, lapangan, dan lain-lain.

Desa dan kota dikelompokkan ke dalam provinsi atau distrik dengan orang-orang tertentu yang mengatur aktivitas ekonomi politik di dalamnya, hingga sekumpulan wilayah-wilayah tersebut berada di bawah satu keluarga tunggal yang secara turun-temurun telah menjadi pelindung dan penakluk dari seluruh keluarga lainnya, sebuah kerajaan, dengan negaranya.

Selama zaman feodalisme, ruang kehidupan terus-menerus didorong meluas tanpa henti; hingga suatu waktu, seluruh ruang kehidupan di dunia beradab telah dimiliki; seluruh tanah, lahan, hutan, padang gurun, gunung, dan ruang apapun yang produktif atau masih masuk akal untuk dimiliki telah dipecah-pecah dalam kepemilikan-kepemilikan para darah biru.

Hal tersebut seiring terus terjadinya persaingan, saling memakan, menindas, membunuh, dan menyingkirkan satu sama lain di antara para darah biru; suatu persaingan bebas di antara para darah biru. Sedemikian luas kepemilikan ruang kehidupan yang dimiliki oleh para individual ningrat yang berjumlah sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan populasi, mereka seringkali tidak dapat lagi melihat atau mengontrol langsung tanah yang dimilikinya, tanah-tanah mereka terletak hingga ke balik gunung dan seberang lautan. Mereka tidak lagi hidup dari tanah yang dimilikinya, mereka hanya menyewakannya saja kepada para peasant melalui perantara-perantara yang tumbuh subur, mereka hanya menikmati hasil kepemilikannya dari jarak sangat jauh. Para absentee landlords.

Peningkatan produktivitas, membesarnya pasar, dan kemajuan teknologi juga mendorong kelas-kelas sosial di antara kedua ekstrim tersebut pun bertumbuhan dengan subur; kelas tentara, kelas ahli-ahli, kelas pedagang, kelas praktisi politik dan hukum, kelas penjaja bualan surgawi, dan lain-lain. Yang paling menonjol di antara kelas-kelas sempalan ini adalah kelas ahli-ahli. Hal itu karena di tangan merekalah teknologi sedikit demi sedikit membuka penemuan-penemuan baru, di bidang material, teknik, alat produksi, alat bekerja, cara yang lebih baik, bentuk yang lebih baik, pesawat-pesawat sederhana, hingga - yang kelak akan merevolusinerkan kehidupan umat manusia ke tingkatan yang tertinggi - mesin.

Dua nasib yang sama yang menghinggapi kelas-kelas sosial lain di luar kelas darah biru dan kelas pembual adalah mereka tidak memiliki tanah dan berbagai hal yang penting untuk menunjang produktivitas yang lebih tinggi dan mereka sama-sama diperas melalui pajak dan upeti yang harus dibayarkan kepada para darah biru. Ketika tanah, harga, sumber alam, bahkan teknologi dan seni dikuasai oleh para darah biru; peasant tidak memiliki tanah untuk dapat berproduksi secara mandiri, kelas ahli-ahli tidak memiliki tanah untuk dapat berproduksi dengan lebih optimal, dan kelas-kelas yang lain harus menghamba kepada kelas darah biru untuk dapat menumpang ruang kehidupan, mendapat dukungan, dan mendapat perlindungan mereka.

Nasib tersebut di waktu-waktu tertentu dapat sangat menyengsarakan bagi mereka. Bencana alam, kebijakan yang salah, birokrasi yang kacau, keputusan yang tidak rasional, atau sekadar keputusan - tidak benar tetapi juga tidak salah - yang dibuat oleh penguasa dapat secara tiba-tiba menghancurkan kehidupan banyak sekali orang, karena alokasi sumber daya yang terlalu banyak memanjakan para darah biru dan para pedagang langit.

Karena peasant hanya mampu menyewa tanah pinggiran yang tidak subur, mereka terpaksa beramai-ramai menanam kentang yang memiliki produktivitas lebih tinggi di tanah tak subur, dan situasi monokultur yang ekstrim menyebabkan hampir seluruh pertanian di Irlandia hancur ketika penyakit tanaman kentang menyerang, yang kemudian hanya akan menambah beban hutang para pesant karena sistem sewa tanah yang diberlakukan.

Demi untuk menjalankan keputusan sang feodal untuk mendukung perang kemerdekaan negara lain di seberang lautan, yang sebenarnya bukan sebuah keputusan yang benar ataupun salah, sang feodal dengan didukung seluruh darah biru menagih pajak, upeti, sumber daya, kerja keras, dan kerja lebih keras lagi ke kelas-kelas di bawahnya. Hanya untuk diikuti dengan hancurnya ekonomi nasional Kerajaan Perancis, membengkaknya hutang negara, melambungnya harga-harga, daya beli menghilang, barang yang dapat dibeli pun lenyap.

***

Para feodal, para darah biru, dan para pembual surgawi adalah kelas-kelas yang akan selalu diuntungkan dari sistem. Maka secara otomatis feodal tertinggi akan berkomplot dan saling melindungi dengan para darah biru. Setiap beban atau tekanan dari sang feodal sendiri akan diteruskan oleh para darah biru ke arah bawah, menciptakan sebuah sistem yang menindas dan mengeksploitasi. Mereka tidak dapat menghentikan eksploitasi tersebut, meskipun situasi bergerak ke arah krisis, mereka hanya dapat meredakan ketegangan yang terjadi, tetapi harus terus melakukan eksploitasi, karena memang eksploitasi tersebutlah esensi dasar dari kelas sosial mereka. Hingga ketika krisis sudah terlampau parah mengakar dan ketegangan tak tertanggungkan lagi, maka perubahan besar pun terjadi.

Ketika perut lapar dan kualitas kehidupan merosot dengan tajam, segala doktrin dan jalinan sosial menjadi kehilangan maknanya. Ketika kemudian doktrin dan jalinan sosial tersebut dipaksakan lebih jauh lagi, mereka mulai mempertanyakan secara radikal dasar landasan kekuasaan para feodal, kebiruan darah mereka, dan keagungan para raja. Lalu mereka memutuskan bahwa tidak ada orang yang memiliki hak eksklusif atas ruang kehidupan, bahwa tidak ada manusia yang secara natural berderajat lebih tinggi dibandingkan yang lainnya, bahwa setiap orang harus bebas memperjuangkan nasibnya, bahwa sumber daya harus lebih banyak dialokasikan untuk hal-hal produktif daripada untuk menunjang keagungan, kebesaran, kemegahan, dan keglamoran para feodal.

Ketika itulah zaman feodalisme menemukan ajalnya secara sporadis. Melalui pemberontakan demi pemberontakan, melalui pembangkangan demi pembangkangan, kelas-kelas yang tertindas menghendaki kehidupan yang lebih rasional. Mereka menumbangkan raja-raja mereka, mengasingkannya, mengebirinya dengan undang-undang, mengecilkannya menjadi fungsi simbolis, atau bahkan menghukum mati mereka.

Runtuhnya struktur kekuasaan yang lama memberikan kesempatan untuk lahirnya tatanan ekonomi yang baru dengan cara berproduksi yang baru. Hancurnya kepemilikan dan kekuasaan absolut Feodalisme terhadap tanah dan sumber daya memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk memanfaatkannya dan mengolahnya. Tetapi kali ini tidak lagi diabdikan untuk kebesaran para raja-raja, tidak lagi untuk membayar upeti para darah biru, tidak lagi untuk dihisap oleh para utusan langit, untuk membiayai kekonyolan demi kekonyolan demi kekonyolan Monarki; kali ini mereka bekerja untuk diri mereka sendiri.

Para peasant pun kini memiliki tanahnya sendiri, mengolahnya untuk kepentingan sendiri, menggunakan tanah tersebut dan sumber daya yang ada untuk berproduksi untuk kepentingan diri dan keluarganya sendiri, dan menciptakan kejayaan-kejayaannya sendiri. Sementara para peasant yang paling miskin dan terbelakang, yang tidak mendapatkan bagiannya, yang tertinggal dalam ketidaksuburan tanah dan kemiskinan, mereka mendapatkan kesempatan yang baru untuk menjual tenaganya kepada kekuatan produksi dari zaman sebelumnya yang akibat hilangnya rongrongan Feodalisme telah tampil ke permukaan, mempimpin sebagai kelas yang paling produktif di antara semua kelas: kelas ahli-ahli dengan proses manufakturnya yang mengubah barang mentah menjadi barang jadi. Struktur kekuasaan pun direduksi menjadi sekelompok orang-orang yang bekerja profesional untuk menjadi pengawas untuk pertandingan ekonomi yang terjadi.

Cara berproduksi yang baru tersebut kemudian menghasilkan suatu sistem nilai yang baru di dalam masyarakat; melalui kerja semua orang dapat memiliki tanah dan sumber daya, melalui kerja semua orang dapat mencapai posisi yang lebih tinggi, dan derajat yang tinggi tidak diwariskan begitu saja tanpa kerja. Cara berproduksi yang baru tersebut, terutama kesempatan untuk mempekerjakan orang lain, di atas perkembangan teknologi dan peningkatan jumlah populasi manusia, juga meningkatkan produktivitas dengan dahsyat.

Suatu sistem manufaktur menghasilkan produk dalam satuan unit yang kemudian dijual ke pasar, sementara tenaga kerja dibayar tidak berdasarkan satuan unit yang telah mereka hasilkan, melainkan berdasarkan satuan waktu; sekian hari per minggu, sekian hari per bulan, sekian jam per hari. Ketika waktu kerja bersifat tetap sesuai kesepakatan, jumlah unit yang dihasilkan bersifat variabel, dapat naik dan turun tergantung bagaimana pemilik sistem manufaktur mengatur proses produksinya. Lalu ketika pekerja ternyata menghasilkan sekian unit lebih banyak dari yang seharusnya, mereka dibayar tetap sesuai dengan unit waktu ia bekerja. Perbedaan tersebut lah yang kemudian disebut sebagai surplus value, profit, hasil kerja pekerja yang tidak dibayarkan kepada pekerja, melainkan menjadi milik pemilik sistem manufaktur.

Lalu kehadiran mesin membuat proses produksi membuat jumlah unit yang diciptakan semakin tinggi lagi, ketika upah yang harus dibayarkan masih tetap dalam satuan waktu. Kehadiran mesin juga menurunkan harga jual produk yang dihasilkan oleh sistem manufaktur, karena menggunakan mesin, terjadi peningkatan produksi yang signifikan, sehingga mereka dapat menurunkan margin profit per unit tetapi mendapatkan jauh lebih banyak profit jika keseluruhan hasil produksi yang dihitung. Maka sistem manufaktur yang tidak menggunakan mesin akan mati dengan sendirinya, dan setiap sistem manufaktur akan bersaing-saingan, akan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan hasil produksinya, untuk mengubah cara produksinya, mengefisienkannya, menambah mesinnya, mengganti mesin yang lebih modern. Setiap kali surplus value tercipta, ia terutama akan digunakan untuk semakin mengusahakan agar sist em manufaktur menjadi semakin efisien. Sejak saat itu, mesin membawa umat manusia, menyeret-nyeretnya, memaksa dan mendorongnya, menuju ke tingkatan produktivitas yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Di zaman yang baru ini, adalah kepemilikan atas alat produksi yang menjadi penentu keunggulan, ditambah dengan keahlian mengelola sistem produksi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dengan mesin-mesinnya, menciptakan kelas yang baru yang mengatasi segala kelas yang pernah ada sebelumnya dalam hal produktivitas: sistem Kapitalisme dengan para Kapitalis dan kepemilikannya atas Kapital.

Melalui nilai lebih yang dihasilkan pekerjanya yang terus-menerus ditumpuk, Kapitalisme menemukan bentuknya yang baru, di mana sedemikian gigantiknya Kapital dan sedemikian penting keberadaannya, sehingga seluruh ahli, profesi, bahkan termasuk ahli mengelola produksi diposisikan menjadi orang-orang bayarannya. Sedemikian perkasa kekuatan produksi yang baru ini, ia menempatkan seluruh kelas yang lain sebagai pekerja sekaligus konsumennya. Sedemikian kuat sistem Kapitalisme mengakar, sedemikian luas cakupannya, sedemikian besar kebutuhannya akan sumber daya; mereka melihat segalanya sebagai komoditas. Sumber daya alam, mesin, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tanah, dan manusia menjadi komoditas di hadapannya.

Persaingan yang sejak awalnya telah terjadi di antara para Kapitalis semakin menjadi-jadi ketika Kapitalisme menuju masa kematangannya. Keberlangsungan hidup suatu Kapital sangat bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi tanpa henti, membuatnya terus-menerus membutuhkan tambahan Kapital untuk memperbesar dirinya sendiri. Dan ketika kepemilikan satu orang individu sudah tidak dapat lagi mengakomodasi keberlangsungan kehidupannya, Kapital menemukan bentuknya yang baru lagi dalam rupa kepemilikan banyak pihak atas Kapital; mulai dari modal bersama, penggabungan perusahaan, saham terbatas, hingga pemecahan saham secara terbuka yang dapat dibeli dan dimiliki oleh siapapun.

Persaingan demi persaingan, penggunaan mesin yang secara alami bersifat sangat objektif, pengelolaan yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan keahlian modern, serta kepemilikan bersama atas kapital menjadikannya suatu kekuatan yang melogiskan dan merasionalkan seluruh proses produksi. Hingga kemudian Kapital seakan berdiri sendiri, dengan objektif, strategi, dan keputusannya sendiri yang kesemuanya memiliki satu tujuan tunggal saja, untuk memperbesar Kapital.

Dalam perspektif tentang ruang, seluruh perjalanan kapitalisme adalah sebuah epos besar tentang ambruknya kekuasaan absolut segelintir darah biru atas ruang kehidupan dan pengembalian hak untuk memiliki ruang kehidupan tersebut kepada khalayak ramai, untuk kemudian menjadikan ruang kehidupan tersebut menjadi komoditas bersama-sama dengan segala hal lainnya.

Ketika kemudian ruang kehidupan pun dijadikan komoditas, maka Kapital berlomba untuk menguasainya, secara perlahan-lahan hingga kemudian memonopoli penguasaan atas ruang kehidupan di tangan segelintir, membuat seluruh orang yang lainnya bekerja kepadanya untuk memperbesar kapital, lalu hidup menumpang dan membayar untuk ruang yang digunakannya.

Tanah-tanah pertanian dan rural pun tidak terlepas dari kekuatan produksi yang baru ini, selangkah demi selangkah Kapitalisme menguasai lahan-lahan pertanian, menjadikannya alat produksi sekaligus komoditas, menggerus keberadaan para petani pemilik tanah hingga ke sudut-sudut yang terpencil dan menggantikannya dengan buruh tani yang sejati, serta mengubah daerah rural menjadi basis-basis industri raksasanya karena nilai tanah yang lebih murah.

Karena kebutuhannya akan kecepatan dan keterhubungan, pengelolaan sistem produksi Kapitalisme itu sendiri terpusat di daerah-daerah urban. Meski tanah pertanian dan industri berada di daerah rural, di daerah urban lah Kapital mendudukan dirinya. Kapital menghisap dan mengeksploitasi tanah-tanah pertanian dan daerah rural pedesaan, industri mengubahnya menjadi angka-angka profit, yang kemudian sebagian digunakan untuk membiayai pembangunan daerah urban.

Kota di zaman kapitalisme adalah ruang-ruang hidup manusia yang terbangun jauh melampaui nilai yang diciptakannya di dalam ruang tersebut. Ia terbangun dari produksi nyata, dan pertanian, dan seluruh industri yang tersebar di sekelilingnya di luar kota itu sendiri. Desa dibiarkan miskin, kering, sepi, monoton, dengan fasilitas yang melulu berorientasi produksi - demi membiayai kota yang beradab, nyaman, aman, dan meriah. Keberadaban yang jika dilihat lebih dekat akan membuka segregasi antar kelas yang kronik.

Sekalipun di kota, penghisapan Kapital atas pekerja terjadi dengan intens, mewujudkan dua kelas utama yang seiring waktu saling memperbesar satu dengan lainnya. Penggelembungan Kapital memperbesar jumlah tenaga kerja yang dibutuhkannya, dan membesarnya angkatan kerja berbalik memperbesar Kapital. Jejak-jejak segregasi kelas dan penghisapan yang terjadi di antaranya membekas jelas pada ruang kehidupan manusia di kota. Mulai dari tempat tinggal, tempat makan, tempat berkumpul, sekolah, taman, tempat bermain, bahkan tempat membuang hajat sekalipun terbedakan. Bagian-bagian kota yang menjadi wajah dari Kapital dan ruang kehidupan para Kapitalis akan tampak sungguh baik adanya. Tetapi setiap Kapital dan Kapitalis membutuhkan tenaga kerja untuk dihisap, maka bertumbuhlah bagian-bagian perkotaan yang menyebar sporadis tersembuyi, berupa kepadatan, keefisienan mekanik, kesederhanaan, bahkan kekumuhan dan kemiskinan, yang menjadi pendukung, menjadi tenaga penggerak sejati, menjadi bahan bakar, menjadi objek eksploitasi bagi Kapital dan Kapitalis.

Aktivitas perekonomian yang terjadi di kota menciptakan kesempatan bagi lebih banyak orang, memicu arus urbanisasi yang secara konstan terus-menerus memperpadatnya, membuatnya semakin megah, membuatnya semakin meriah. Kerumuman orang ini, dengan aktivitasnya, dengan kebutuhannya, kemudian dengan kulturnya, membentuk kota tempatnya berada, menghantarkannya hingga ke bentuknya di abad 21 sekarang. Dari barang yang paling remeh hingga yang paling mahal, dari kemewahan yang luar biasa hingga suasana privat sepi terpencil khas pedesaan, dari keseriusan ruang rapat korporasi raksasa hingga keriang-gembiraan di taman permainan pemicu adrenalin. Semuaya bisa didapatkan di kota, dengan cara membelinya.

Kapitalisme adalah kekuatan produksi yang berarti revolusi itu sendiri, dalam waktu yang singkat ia mengubah wajah ruang kehidupan manusia dengan sangat radikal. Perubahan yang membuat pembangunan piramida raksasa dan tembok besar di masa lampau tampak sangat kecil artinya. Perubahan yang dipicu oleh kebutuhannya sendiri untuk terus berkembang tanpa henti atau mati. Ia menumpuk aktivitas dan ruang privat hingga beratus lantai, ia membangun jauh menghujam ke dalam bumi, ia mengubah sebuah gunung menjadi kawah untuk mengekstraksi emas di dalam tanahnya, ia menciptakan ruang yang dapat dihidupi di dalam lautan dan di luar angkasa, ia mengubah wajah geografis, mengurug lautan, menyobek daratan menjadi terusan, ia menghubungkan berbagai daratan dengan jembatan atau lorong bawah laut, membangun sistem transportasi super cepat, mengubah kolong bawah tanah sebuah kota menjadi sebuah kota yang lain lagi, seperti bunker raksasa, ia mengaliri titik-titik peradabannya dengan energi berkelimpahan, membuat bola dunia berkilauan di malam hari, membangun bendungan sungai atau reaktor nuklir maha besar untuk menghidupinya.

Dalam perkembangannya kemudian, dalam kebutuhannya untuk memperbesar dirinya sendiri, ruang, sumber daya, dan pasar, Kapital-kapital yang telah berukuran maharaksasa tidak dapat lagi menunjang kehidupannya sendiri dalam ruang yang terbatas. Ia membutuhkan lebih banyak lagi. Ia memerlukan ekspansi melampaui batas. Upaya demi upaya dilakukannya dan berceceran di sepanjang sejarahnya; perang untuk memperluas ruang dan sumber daya alam, perbudakan modern berbasis ras untuk tenaga kerja yang melimpah dan murah, lalu perang lagi, lalu perang lagi, lalu bentuk-bentuk pertama pendirian perusahaan di tanah di ujung dunia, lalu kolonialisme, lalu perang lagi, lalu konsep perdagangan bebas, lalu pendirian zona ekonomi khusus, lalu perusahaan multinasional, hingga secara perlahan-lahan Kapitalisme menyeberang lautan, menghilangkan sekat-sekat tradisional yang pernah dihidupkan di zaman sebelumnya.

Semakin rasionalnya sistem produksi membuat kelas pekerja yang juga rasional dalam berfikir dan bertindak. Kelas pekerja menyadari nilai maha besar yang diekstraksi dari keringat mereka, dan mereka menuntut bagian lebih atas hasil kerja mereka tersebut. Bersamaan dengan itu, penggunaan mesin dan teknologi tinggi, semakin tingginya persaingan antar kapital, dan semakin efisien produksi dilakukan membuat sistem memerlukan tenaga kerja dengan kualitas yang semakin baik. Sistem memerlukan tenaga kerja dengan kecerdasan yang mencukupi, ketangkasan, kesehatan; tenaga dan pikiran yang memadai untuk dieksploitasi menjadi surplus value. Maka dalam fase-fase kematangannya, karena keterpaksaannya, sistem Kapitalisme berubah wujud menjadi Kapitalisme yang tampak - seakan-akan - lebih manusiawi. Secara langsung atau tidak langsung, sistem membiayai pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain hal yang dapat menjamin pasokan tenaga kerja yang memenuhi syarat bagi keberlangsungan hidup dari Kapital itu sendiri.

***

Di sepanjang seluruh sejarahnya, cara manusia berproduksi menentukan relasi ekonomi yang terbangun di antara para individunya. Pada gilirannya relasi ekonomi akan menentukan struktur politik yang terbangun di dalam masyarakat. Cara berproduksi, relasi ekonomi, dan struktur politik secara bersamaan menentukan relasi sosial yang tercerminkan pada ruang-ruang kehidupan.

Kerja sama, saling ketergantungan yang mutlak, dan kesetaraan fungsi dalam kehidupan ekonomi membentuk masyarakat Komunal primitif yang tinggal di dalam gua atau di atas pohon. Keterpisahan antar kelompok-kelompok kecil, keterikatan pada lokasi produksi agrikultur, dan kebergantungan internal unit-unit keluarga melahirkan sistem Patriarkal dan Perbudakan kuno dengan ladang-ladangnya. Tumpukkan hirarki-hirarki berbasis hubungan darah yang memonopoli kepemilikan atas tanah dan menindas ke kelas petani penyewa menghasilkan zaman Feodalisme dengan pertanian dan keterpisahan antara desa dengan kotanya. Kekuatan produksi berbasis kepemilikan pribadi atas alat produksi manufaktur yang menghisap kelas pekerja menghasilkan struktur Kapitalisme dengan segregasi yang radikal antara yang mengeksploitasi dan yang tereksploitasi, desa dengan kota, lingkungan korporasi dengan lingkungan pendukungnya, rumah Kapitalis dengan rumah susun padat dan kumuh kelas pekerja.

Pada setiap tahapan sejarahnya, melalui berbagai dorongan dan kesempatan yang tersedia, manusia akan berusaha untuk mencapai produktivitas yang lebih tinggi. Pertama mereka mencampakkan struktur politis yang mengunci dan membakukan cara berproduksi mereka. Lalu gerbang yang terbongkar akan menjadi jalan untuk dimulainya tatanan ekonomi yang baru, sistem kepemilikan yang baru, relasi yang baru, dan membentuk struktur politik yang baru. Setiap sistem dan setiap struktur yang menopangnya akan mengalami kebangkrutan karena kontradiksi internalnya sendiri, bahwa mereka tidak dapat bergerak lebih maju lagi dan tidak dapat lebih produktif lagi dengan cara berproduksi yang dilakukan, bahwa struktur politik telah membelenggu potensi produktivitas optimum yang dapat dicapai.

Kebutuhan sistem produksi agrikultur akan ruang kehidupan yang luas dan kebutuhan mereka untuk saling bergantung antar susunan keluarga kecil menumbangkan bentuk kehidupan Komunal primitif dan melahirkan masyarakat agraris. Kebutuhan sistem akan koordinasi dalam skala luas yang terpusat, pertahanan, dan kerjasama di level yang lebih tinggi menggantikan masyarakat agrikultur kuno dengan sistem Feodalisme. Kebutuhan sistem akan otonomi produksi dan ruang kehidupan di tangan individual, diversifikasi produksi, serta kemerdekaan dalam berusaha pada akhirnya melepaskan leher Louis XVI dari badannya dan membuka babak epos Kapitalisme.

Saat ini adalah saat di mana Kapitalisme tidak dapat lagi bergerak lebih maju kecuali dengan cara sedikit lebih memanusiakan tenaga kerjanya. Bukan berarti Kapitalisme adalah suatu sistem yang telah menjadi lebih manusiawi, karena hampir selalu mereka bergerak ke arah yang progresif hanya karena keterpaksaannya. Mereka terpaksa harus tampak lebih manusiawi dan memberikan tawaran yang lebih baik karena persaingan di antara para Kapital sendiri, karena mereka membutuhkan tenaga kerja yang lebih cerdas, karena dituntut oleh para pekerjanya yang telah menjadi lebih cerdas tersebut.

Bisa jadi, saat ini adalah titik balik dari sistem yang termegah di sepanjang sejarah. Ketika produktivitas Kapitalisme telah mencapai titik tertingginya, dan tidak ada jalan lain baginya untuk menjadi lebih produktif lagi selain dengan cara berubah, berevolusi, berevolusi. Dan akan mengikuti bersamanya kemudian adalah jejak-jejak perikehidupan manusia terhadap ruang kehidupannya. Satu saja bedanya, kali ini kita akan menjadi saksi, mengalami langsung, atau bahkan menjadi pelaku dari seluruh perubahan itu.

1 comment:

  1. Hasil tulisan yang bagus !

    Sebuah rangkuman lengkap padat mengenai sejarah peradaban manusia.

    Layak dibuat pengantar pengetahuan dasar pelajaran ilmu sosial.

    ReplyDelete

Popular Nonsensical Matters