23 January 2017

Riwayat Manusia Pekerja

Di zaman ini, manusia yang bekerja - yang berperikehidupan dengan cara menjual tenaganya - hidup dalam tiga kenyataan sekaligus dalam hubungannya dengan proses produksi yang dilakukannya.

Pertama mereka adalah produsen mulai dari hulu hingga ke hilir. Sejak dari proses mengekstraksi hasil alam, pengolahan dasarnya, mengirimnya ke lokasi yang berbeda-beda, mempertemukannya dengan berbagai material lainnya, pengolahan tahap kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, hingga kemudian membuatnya siap dikonsumsi di hadapan konsumen. Di dunia ini tidak ada nilai yang tercipta selain dari hasil kerja manusia dalam suatu proses produksi, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, dari yang terkecil hingga industri raksasa.

Aktivitas produksi para manusia yang bekerja tersebut setiap hari semakin dan semakin terdominasi oleh moda produksi kapitalistik industrialis. Tidak begitu saja berarti buruk, melainkan sekadar kenyataan dan keniscayaan sejarah bahwa kekuatan produksi baru yang jauh lebih produktif ini memang akan menenggelamkan dan mengalahkan kekuatan produksi tradisional, bahwa moda produksi yang menang adalah yang dijalankan dalam nama akumulasi profit menjadi Kapital, yang menuntut rasionalitas dalam prosesnya. Akibat rasionalitas moda produksi yang berorientasi profit tersebut; para produsen, manusia-manusia yang bekerja, menghidupi kenyataannya yang kedua sebagai komoditas.

Dalam suatu proses produksi kapitalistik, mayoritas tenaga kerja tidak memiliki hak suara menyangkut aktivitas produksi yang dilakukannya. Tenaga kerja tidak menentukan apa yang mau diproduksi, berapa banyak, kapan, bagaimana, seberapa cepat, di mana, dan untuk apa. Bahkan ketika sebuah unit produksi diakuisisi oleh unit produksi yang lain, tenaga kerja dan seluruh potensi produksinya secara otomatis ikut terakuisisi. Mereka bukan subyek, melainkan objek, mereka berperan lebih menyerupai mesin. Dan tepat seperti mesin, manusia-manusia tenaga kerja yang pada dasarnya adalah "hasil produksi domestik" sejak dari orang tuanya hingga ke bangku pendidikan, kemudian menjual tenaga dan keahliannya dengan nilai tertentu, yang pada dasarnya ditentukan oleh harga pasar, artinya dapat naik maupun turun seiring permintaan dan penawaran.

Harga tenaga kerja tersebut memang kemudian "dilindungi" dengan Upah Minimum, tetapi logika Upah Minimum itu sendiri justru menelanjangi sifat komoditas yang dikenakan oleh kapital terhadap tenaga kerjanya. Upah Minimum adalah model hitungan untuk menentukan di angka berapa tenaga kerja masih dapat hidup sesuai standar yang telah disepakati, jangan sampai mati, jangan sampai terlalu melarat dan sengsara lalu membuatnya mulai berkicau, cukup istirahat dan cukup bahagia, sehingga datang dalam kondisi sumringah dan giat dalam bekerja. Persis seperti mesin; di harga berapa keberadaan suatu mesin di dalam sebuah proses produksi masih menguntungkan berbanding dengan produksi yang dilakukannya, di angka berapa pengeluaran untuk bahan bakar dan perawatan masih masuk akal untuk dilakukan, di nilai pengorbanan berapa sebuah mesin sudah layak untuk di-PHK.

Tepat pada titik inilah, akibat perlakuan sebagai komoditas terhadap tenaga kerja, akibat hilangnya suara tenaga kerja tentang aktivitas produksi yang dijalankannya, akibat nilai tenaga kerja yang dihitung dengan upah berdasar satuan waktu sementara hasil produksi yang dijalankannya bernilai unit; di sanalah terlahirnya profit yang kemudian dikuasai dan diakumulasi menjadi kapital.

Pertama mereka adalah produsen; kedua, dalam proses produksi tersebut mereka adalah komoditas; dan ketiga, mereka sendirilah yang terutama kemudian akan menjadi konsumen dari hasil produksinya sendiri. Sebagian besar dari barang-barang yang diproduksi oleh orang-orang yang bekerja kelak kemudian akan dikonsumsi oleh orang-orang yang bekerja pula. Industri besar, industri raksasa, industri maha-raksasa, semuanya terutama menghasilkan barang-barang dengan nilai dalam jangkauan Upah Minimum yang dikenakan kepada para pekerja, karena memang para pekerja inilah populasi terbanyak umat manusia saat ini. Justru bukanlah orang-orang yang berada di strata yang tertinggi, orang-orang super-kaya, maha-kaya, the top 1%, yang menjadi konsumen utama aktivitas produksi, orang-orang manajemen melihat mereka hanyalah ceruk pasar; melainkan pasar yang utama, pasar dengan "kue" yang terbesar, pasar yang tiada habis-habisnya, yaitu kelas pekerja itu sendiri.

Sekalipun profit terbentuk dari hasil mengkomoditaskan pekerja, tetapi ia baru akan terealisasi manakala hasil produksi telah dibeli, ditukarkan dengan uang oleh konsumen. Maka menjadi sangat penting bagi Kapital untuk memastikan, melampaui sekadar tingkat produktivitas yang tinggi, adalah tingkat konsumsi yang juga tinggi. Maka dalam rangka merealisasikan profit tersebut, dalam rangka "menandingi" tingkat produktivitas yang tinggi, terlahir apa yang dikenal sebagai Konsumerisme. Di mana situasi yang ideal bagi keseluruhan sistem produksi Kapitalistik adalah manakala aktivitas konsumsi dilakukan secara irasional, tidak logis, membabi-buta, setengah sadar, rakus, impulsif, instinktif, dan dengan sifat kebinatangan yang kuat. Orang membeli tanpa berfikir, orang mengkonsumsi tanpa pertimbangan, dan orang ingin memiliki dengan tanpa batas.

***

Tidak pernah sebelumnya di sepanjang sejarah manusia menyaksikan tingkat produktivitas yang sedemikian besarnya seperti di zaman ini. Sedemikian besarnya, hingga bahkan setelah Konsumerisme menjangkiti umat manusia, kekuatan produksi dan keberlimpahan yang dibawanya ternyata masih belum terlampaui pula. Tetap tidak seluruh hasil produksinya dapat dikonsumsi. Untuk menstabilkan harga yang merosot akibat keberlimpahan, sebagian hasil produksi dihancurkan, sementara untuk meningkatkan konsumsi, Kapital memerlukan konsumen yang lebih baik taraf hidupnya, yang berarti taraf hidup pekerja yang lebih baik. Dan pula, demi rasionalitas, keterencanaan, kerapihan, dan kelogisan produksi itu sendiri mereka membutuhkan tenaga kerja yang lebih cerdas, lebih segar, dan lebih rajin.

Tentu saja kedua hal tersebut menjadi kontradiksi internal dari sistem produksi Kapitalistik, karena akan sama saja dengan pengeluaran yang lebih banyak untuk komoditas tenaga kerja. Maka sistem akan cenderung bertahan dan bersikap konservatif hingga terjadinya protes, tuntutan, dan pemogokan. Dari sanalah asal-muasal datangnya peningkatan kesejahteraan, fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial, dan lain-lain. Dari sana pula asal-muasalnya berbagai macam subsidi dan stimulus yang dikucurkan oleh pemerintah, untuk menyelamatkan Kapital dari penyakit overproduksinya sendiri.

***

Manusia memenuhi kebutuhannya, artinya melakukan konsumsi, dengan cara berproduksi secara kolektif. Hampir tidak ada lagi satu pun barang di hari ini yang bukan merupakan hasil kerja kolektif banyak manusia di berbagai tempat, yang mengerjakan bagian atau tahap yang berbeda-beda dari barang tersebut. Setiap barang, hingga yang paling sederhana, adalah hasil kerja dari ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan manusia yang bekerja secara kolektif.

Dan bagi manusia-manusia pekerja, pola kerja yang semakin kolektif tersebut pun diikuti dengan pola konsumsi yang semakin kolektif pula. Mereka membiayai pendidikan anak-anaknya bersama-sama, kesehatan keluarga mereka bersama-sama, di rumah sakit dan sekolah yang melayani publik secara luas, bepergian dengan transportasi publik, makan dan melakukan relaksasi di ruang-ruang untuk publik.

Manusia berproduksi secara kolektif untuk mengkonsumsi hasilnya secara kolektif. Manusia sebagai produsen dan manusia sebagai konsumen. Manusia mencipta mesin dan industri untuk meningkatkan potensi hasil produksi, meningkatkan pula konsumsi, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendasar, menyejahterakan, dan membahagiakan. Entah di mana letak kebutuhan akan keberadaan Kapital dalam siklus produksi-konsumsi tersebut selain sebagai parasit.

Dari total keseluruhan nilai produksi kolektif manusia pekerja, hanya sebagian yang kemudian ditujukan untuk dikonsumsi oleh diri mereka sendiri. Ada sebagian hasil produksinya yang tidak akan pernah dapat mereka konsumsi hingga akhir hayatnya, kekuatan produksi kolektif yang ditujukan bukan untuk pekerjanya sendiri melainkan untuk kenikmatan dan kesenangan hidup orang-orang yang menyimpan sertifikat kepemilikan atas alat produksi.

Dari total keseluruhan nilai konsumsi manusia pekerja, hanya sebagian pula yang kemudian kembali kepada diri mereka sebagai produsennya sendiri. Di sanalah letaknya profit; nilai konsumsi tidak sepenuhnya dikembalikan kepada produsennya, melainkan dicuri sebagai profit dan ditimbun untuk memperbesar Kapital.

Kapital adalah parasit.

No comments:

Post a Comment

Popular Nonsensical Matters