02 December 2013

Jagoan Kecil

Baru-baru ini sedang ramai dipergunjingkan tentang peristiwa pembajakan bus di Jakarta oleh sekomplotan jagoan-jagoan kecil dan reaksi Wakil Gubernur Jakarta tentang peristiwa itu, serta reaksi Komisi Perlindungan Anak Indonesia tentang reaksi Wakil Gubernur, juga reaksi balik Wakil Gubernur terhadap reaksi KPAI, ditambah dengan reaksi orang tua murid dan masyarakat pada umumnya.

Memperhatikan bahwa ada sedemikian banyak pergunjingan yang terjadi, penulis akan turut pula mempergunjingkan kejadian ini, tetapi dari sudut pandang yang sedikit berbeda: Ruang bagi para jagoan kecil kita.


***

Pada dunia tikus, tingkat agresivitas tikus jantan berhubungan erat dengan hormon estradiol, hasil turunan dari hormon testosteron. Hormon ini bahkan mempengaruhi tingkat toleransi risiko dalam keputusan finansial, membuat seorang pejantan menjadi egois, dicurigai memiliki hubungan erat dengan tingkat kriminalitas, dan merupakan dalang dari agresivitas pejantan dalam sebagian dunia hewan - termasuk manusia.  Walaupun testosteron dan agresivitas yang ditimbulkannya ini baik juga untuk kompetisi, ambisi, dan keberanian, tetapi karena terjadinya agresivitas pulalah kita mengenal tindakan kebiri terhadap hewan - atau manusia - untuk membuatnya menjadi lebih pasif.

 Dalam kebetulan yang luar biasa sekali, para jagoan kecil kita yang membajak bus adalah anak-anak SMP berumur belasan tahun, yang normalnya tengah berada dalam masa puber. Apa pula yang membanjiri darah mereka dalam masa puber ini? Testosteron.

Jadi sekarang kita tahu, apa yang kira-kira tengah terjadi dalam tubuh, otak, dan emosi para remaja yang sedang dalam masa puber tersebut. Mereka lebih berani untuk mengambil risiko, mereka lebih egois, mereka sangat bersemangat untuk menunjukkan kehebatan, mereka ingin mengalahkan, dan di atas semuanya - bak singa jantan yang tengah kelaparan - mereka sungguh sangat agresif.

Sekarang kita coba lihat lingkungan seperti apa yang kita miliki untuk menampung para pejantan muda dengan daya juang yang meletup-letup itu?

***

Sebagian warga Jakarta adalah orang-orang yang tinggal di pemukiman padat penduduk, dengan rumah yang sempit, hampir tanpa halaman, ke sana-ke-sini mentok, dan berada di lingkungan yang sangat berhimpitan. Penulis cukup berani memperkirakan bahwa pada umumnya jagoan kita tinggal di ruang-ruang pemukiman seperti itu.

Lalu mereka bersekolah, dengan ruang yang berjejal-jejalan dan jam belajar yang berjejal-jejalan pula - giliran pagi dan giliran siang, artinya keterbatasan penggunaan lapangan olah raga dan berbagai fasilitas sekolah lainnya - kalaupun ada.

Lantas ketika pulang ke rumah, mereka akan kembali terjebak di rumah-rumah yang sempit. Lahan-lahan terbuka telah berubah menjadi jalan raya atau mall atau rumah-rumah padat yang lain lagi. Lapangan terbuka yang ada jumlahnya tidak memadai dan sesuai dengan hukum pasar yang berlaku, barang yang langka tinggi harganya.

Hampir tidak ada lagi tempat yang bisa mereka pergunakan untuk bermain bola, bermain layang-layang, dan berkejaran. Satu-satunya tempat yang ada adalah jalanan itu sendiri atau tempat-tempat penyewaan game console tempat mereka membenamkan diri dalam serunya permainan Winning Eleven, bagaikan para pecandu opium di Hong Kong di waktu lampau. Lainnya tinggal warnet-warnet murah tempat mereka bisa membius diri dengan pornografi atau, lagi-lagi, game.

Don Quixote yang sudah tua renta saja memerlukan petualangan, tantangan, dan pemuasan. Sementara para pembajak bus yang terhormat ini adalah remaja-remaja yang kita telah tahu masih sangat membutuhkan kompetisi, menggerakkan fisik dan menguras tenaga mereka, mempertontonkan kehebatan mereka, berlari melompat berteriak menendang memukul dan mengejar, atau sekadar merenggangkan otot-otot, dan mengekspresikan maskulinitas. Mereka perlu melampiaskan agresivitas mereka.

Agar semua itu bisa terlampiaskan secara terkontrol dan baik dalam olahraga, dalam persaingan sehat, atau dalam kesenian, selain memerlukan alat, tentu saja mereka memerlukan ruang.


Ketika ruang yang ada, yang ternyata merupakan kebutuhan penting untuk mereka, tidak memadai atau tidak mencukupi, kita tidak bisa semerta-merta mempersalahkan mereka sepenuhnya untuk "aksi heroik" yang telah mereka lakukan. Karena agresi terhadap objek yang tidak terkontrol atau tidak bersalah ternyata bukan sekadar kenakalan atau kriminalitas biasa, melainkan karena tidak tercukupinya apa yang menjadi kebutuhan dasar mereka.

Terlebih lagi kalau kita mempertimbangkan pula hipotesis yang dikembangkan oleh John Dollard, Frustration-Aggression Hypothesis: "... frustration causes aggression, but when the source of the frustration cannot be challenged, the aggression gets displaced onto an innocent target."

Dalam hal pahlawan-pahlawan cilik kita, bus yang menjadi target tersebut.

***

Sebagai langkah awal untuk menguji hubungan-hubungan antara kebutuhan para remaja akan ruang dengan agresivitas mereka, penulis mengusulkan suatu penelitian dengan populasi satu angkatan kelas 7 atau 1 SMP yang terdiri dari 4 kelas yang berbeda dan relatif seimbang secara prestasi. Penelitian dilakukan pada sekolah negeri atau swasta yang sama sekali tidak memiliki catatan kenakalan remaja selama ini agar objektivitas bisa terjaga dan populasi masih bersih dari agresivitas berlebih.

Masing-masing dari keempat kelas akan diberi perlakuan yang berbeda-beda selama satu sampai dua bulan:
1. Kelas Pertama: Diizinkan untuk menggunakan seluruh fasilitas sekolah, lapangan olah raga, serta fasilitas dan kegiatan tambahan secara berlimpah, dalam keadaan disaksikan oleh murid-murid kelas kedua.
2. Kelas Kedua: Boleh berada di lapangan dan menyaksikan kegiatan kelas pertama atau kelas lainnya, tetapi sama sekali tidak diperbolehkan untuk mempergunakan lapangan dan seluruh fasilitas sekolah.
3. Kelas Ketiga: Dengan pengaturan jam pelajaran, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berada di lapangan dan menyaksikan aktivitas kelas lainnya, termasuk juga dalam hal penggunaan fasilitas sekolah.
4. Kelas Keempat: Sebagai control group, belajar seperti biasa dengan tidak disaksikan atau berinteraksi dengan kelas pertama, kedua, dan ketiga.

Setiap satu minggu sekali selama satu atau dua bulan masa percobaan akan dilakukan wawancara dan kuesioner untuk menilai tingkat agresivitas murid-murid dari keempat kelas tersebut. Percobaan ini membutuhkan sesedikit mungkin perubahan skenario akibat adanya aktivitas di luar sekolah (misalnya kelas kedua beramai-ramai menyewa lapangan untuk bermain bola seminggu sekali), mungkin bisa diusahakan dengan cara menambah jumlah pekerjaan rumah atau dengan melalui kerjasama dengan orang tua murid.

Melalui penelitian ini kita akan berusaha untuk mengetahui apa dampak yang diberikan oleh penutupan akses terhadap kegiatan fisik terhadap sekelompok remaja yang tidak memiliki catatan kenakalan remaja.

***

Sementara itu, sebagai rekomendasi terhadap penentu kebijakan, pengelola ruang kota, dan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap hal tersebut, penulis mendorong untuk lebih banyak lagi menciptakan ruang-ruang terbuka yang bisa dipergunakan oleh para remaja, perbanyak lapangan yang bisa dipergunakan dengan mudah, buat lebih banyak lagi sekolah, fasilitasi mereka dengan berbagai macam kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran dan kreativitas dan adrenalin.

Nafsu agresif para remaja tidak dapat dihilangkan, itu bagian inheren dari tubuh manusia yang normalnya setiap orang pasti pernah lalui. Yang bisa dilakukan hanyalah menyalurkan dan mendayagunakan hasrat tersebut menjadi sesuatu yang konstruktif dan positif.

No comments:

Post a Comment

Popular Nonsensical Matters