13 May 2016

Keadilan Ruang (Yang Lebih Radikal)

Belakangan ini mulai sering disuarakan konsep tentang Keadilan Ruang. Bahwa di kota seperti Jakarta, semakin kecil pendapatan seseorang, ia akan (terpaksa) tinggal semakin jauh dari pusat kota, semakin ia tinggal jauh dari pelayanan dan prasarana yang memadai, semakin besar pula ongkos yang harus dikeluarkannya untuk mencapai lokasi kerja dan aktivitas serta untuk mendapatkan pelayanan dan prasarana yang memadai.

Konsep Keadilan Ruang yang bersifat normatif dan sosial-etis ini seringkali akan terbentur oleh argumentasi-argumentasi ala liberal; bahwa tidak ada yang patut dikeluhkan dari situasi tersebut, mengingat bahwa entitas-entitas yang menguasai pusat kota pun mendapatkan haknya dengan cara legal, mereka membeli lahan dengan harga yang pantas, mereka membayar pajak, mereka mengolah hak miliknya tersebut agar terus produktif dan menghasilkan.

Ada pula kritik blak-blakkan kelas menengah yang merasa sudah banyak makan asam-garam kehidupan, "Makanya pendapatan jangan kecil. Makanya kerja keras. Makanya kerja cerdas. Makanya berinvestasilah. Makanya tingkatkan kemampuan. Jangan cengeng. Jangan hanya bisa merengek."

Diperhadapkan dengan argumentasi dan kritik semacam itu, konsep Keadilan Ruang akan kelimpungan jika hanya bertahan pada pijakan normatif dan sosial-etis saja. Sarana transportasi massal yang murah, layak, dan memadai dari pinggiran ke pusat kota sudah cukup untuk membungkam kritik: Kebutuhan Anda sudah terpenuhi, apa salahnya pusat kota kami olah secara komersial agar mendatangkan keuntungan? Pajak dari keuntungan kami pula yang kemudian akan digunakan untuk membangun sarana-prasarana perkotaan.

Pada tahap ini, kita perlu menggunakan pisau analisa yang lebih tajam lagi.

Dimulai dari kesadaran bahwa segala Nilai Ekonomis yang ada di dunia adalah merupakan hasil dari Kerja, sehingga Profit adalah Kerja yang tidak dibayarkan kepada yang melakukan kerja secara nyata. Dan Kapital adalah tumpukkan berpuluh-beratus tahun keringat yang dirampas dari orang-orang yang melakukan KERJA.

Dari sana kita dapat mendeduksi bahwa hak atas ruang perkotaan adalah dibeli, dikuasai, dinikmati, dan pajak dibayarkan menggunakan keringat kaum Pekerja; lalu mereka sendiri diusir dan disingkirkan agar tidak mengganggu pemandangan dan keindahan kota yang telah sekaligus ikut dibeli menggunakan perasan keringatnya.

Maka ini bukan lagi perkara keadilan dalam arti rengekan atau mengemis belas kasihan dan bantuan bagi yang lemah.

Ini adalah persoalan Kebenaran. Kebenaran yang dingin dan tajam: Bahwa seperti segala hal bernilai ekonomis lainnya, ruang perkotaan dibangun menggunakan keringat, air mata, dan darah kaum pekerja yang telah membeku.

Betul, keadilan ruang normatif harus tetap diperjuangkan sebagai upaya untuk mewujudkan perikehidupan yang lebih baik, lebih rasional, dan lebih manusiawi bagi warga kota. Tetapi jangan sampai dilupakan bahwa Keadilan Ruang yang sejati hanya dapat diwujudkan manakala struktur dan sistem yang menindas telah direbahkan, manakala hak atas segala Nilai Ekonomis yang tercipta telah dikembalikan kepada yang bekerja menghasilkannya.

No comments:

Post a Comment

Popular Nonsensical Matters