31 August 2021

Moratorium New Town di Pulau Jawa - SEKARANG!

Pada bagian sebelumnya (Moratorium New Town di Pulau Jawa) kita telah membahas bahwa pada suatu titik, akan diperlukan Moratorium Pengembangan New Town di pulau Jawa. Di bagian ini kita akan membahas kapan waktu yang tepat. Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

1

Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 18 ayat 2 diatur bahwa "Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional."

Sesungguhnya angka 30% tersebut masih menjadi polemik karena tidak disertai dengan penjelasan atau pun argumentasi dari mana sumbernya. Tetapi jika dihitung berdasar acuan tersebut saja, maka luas hutan minimal di pulau Jawa telah terlampaui. Dari data yang tersedia, sejak tahun 2014, hutan di pulau Jawa selalu berada di bawah angka 30%, sementara di tahun 2019, tercatat bahwa luas hutan di pulau Jawa hanya di angka 21.94%.

Luas Lahan Hutan dan Rasio terhadap Pulau Jawa

Maka berdasar data ini saja tentu tidak masuk akal jika dibiarkan lebih banyak lagi alih fungsi kawasan hutan untuk keperluan perumahan maupun pangan. Baik di tataran global, lokal, atau bahkan sosial-individual sekali pun, keberadaan hutan sangatlah penting, terutama di masa-masa belakangan ini di mana bumi semakin mendekati point of no return dalam permasalahan iklim global.

Secara spesifik di pulau Jawa, hubungan antara kondisi hutan dengan krisis lingkungan telah menjadi sangat jelas terbaca. Telah terdapat banyak sekali penelitian, berita, atau bahkan sumber pemerintah sendiri - baik dalam rupa pernyataan individual maupun kelembagaan - yang mengkaitkan kondisi hutan di pulau Jawa dengan menurunnya kualitas lingkungan, kondisi krisis, bahkan bencana alam. Sehingga dalam hubungan antara konservasi kawasan hutan dari penggerogotan untuk keperluan perumahan atau pangan, sifatnya bukan lagi antisipasi atau kekhawatiran, melainkan darurat, saat ini sudah terwujud dampaknya, dan perlu segera dilakukan tindakan.


2

Berkorelasi negatif dengan angka deforestasi, dari berbagai studi terpisah yang dilakukan terhadap kota-kota di pulau Jawa, pada umumnya menyatakan bahwa Penjalaran Kota atau Urban Sprawl telah terjadi di sekitar kota-kota tersebut. Bahkan dalam beberapa kasus telah berdampak secara langsung baik terhadap lingkungan maupun produksi pangan.

Telah ada usaha regulasi untuk menghambat Urban Sprawl, tetapi terbatas dari sisi Agrikultur (pelestarian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan/LP2B), seperti melalui UU No. 41 tahun 2009. Teatapi usaha tersebut dinilai gagal dan diperlukan intervensi lintas sektoral untuk mengendalikan Urban Sprawl (Nurrokhman, Puslitbang ATR/BPN). Usaha lintas sektoral tersebut dibutuhkan karena pendorong dari terjadinya Urban Sprawl pun bersifat multidimensi.

Colsaet, Alice & Laurans, Yann & Levrel, Harold. (2018). What drives land take and urban land expansion? A systematic review. Land Use Policy. 79. 339-349. 10.1016/j.landusepol.2018.08.017
Source

Jika kita bandingkan tingkat kepadatan penduduk historis antara Kota dan Kabupaten di pulau Jawa, maka dapat terlihat bahwa rata-rata laju kepadatan penduduk lebih cepat terjadi di Kabupaten. Walaupun perlu dicatat bahwa data ini tidak menunjukkan apakah densifikasi tersebut terjadi di pusat Kabupaten atau merupakan sprawl dari pusat kabupaten dan kota-kota di sekitarnya.

Kepadatan Historis Kota di Pulau Jawa

Kepadatan Historis Kabupaten di Pulau Jawa

Tidak ada angka yang menjadi batas warning untuk fenomena Urban Sprawl, tetapi dari data dan informasi yang tersedia, telah selayaknya hal ini menjadi perhatian dan diperlukan antisipasi.


3

Dewasa ini kita mengetahui bahwa pada dasarnya kota yang padat dan kompak adalah baik adanya. Kota yang kompak memberikan keterhubungan dan radius yang lebih baik antar berbagai komponennya, sehingga dapat dicapai dengan berjalan kaki, yang artinya efisiensi dalam mobilitas dan penggunaan energi. Kota yang kompak juga memberikan kesempatan untuk pemanfaatan lahan yang lebih efisien sehingga memberikan kesempatan pengalokasian lahan untuk (misalnya) Ruang Terbuka Hijau yang lebih banyak, menjadi kota yang menyehatkan serta membahagiakan.

Tentu akan diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat lokal dan per kasus dengan mempertimbangkan daya dukungnya untuk menentukan tingkat kepadatan yang ideal atau optimal untuk masing-masing dari kota. Ada faktor lokasi, ukuran kota eksisting, geomorfologi, daya dukung tanah, sumber daya, pendorong ekonomi, iklim, dan lain-lain yang harus dipertimbangkan dan akan berbeda antara kota yang satu dengan kota yang lain.

Tidak ada angka kepadatan istimewa yang dapat berlaku untuk semua kota, tetapi kita dapat berusaha melakukan komparasi dengan beberapa standar yang tersedia:

WHO memiliki angka formula 96 jiwa/Ha. Angka ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik dan dihubungkan dengan Indeks Kualitas Lingkungan, di mana setiap penambahan kepadatan penduduk di atas 96 akan mengurangi Indeks Kualitas Lingkungan dari nilai tertinggi 100. Oleh karena itu pendekatan dan logika yang digunakan cukup konservatif dan tidak sejalan dengan logika bahwa kepadatan tinggi yang terencana adalah baik untuk menjaga kualitas lingkungan.

Kepadatan Penduduk Kota di Pulau Jawa

Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan dan SNI 03-1733-1989 tentang Tata cara perencanaan kawasan perumahan kota, Terdapat 4 kategori kepadatan penduduk: Rendah (<150 jiwa/Ha), Sedang (151 - 200 jiwa/Ha), Tinggi (200-400 jiwa/Ha), dan Sangat Padat (>400 jiwa/Ha).

SNI tersebut secara spesifik mengatur tentang perencanaan perumahan. Oleh karena itu jika setelah dikurangi infrastruktur, sarana-prasarana, area non-perumahan, diasumsikan 60% dari kota adalah kawasan perumahan, maka berdasar standar ini, mayoritas kota-kota di pulau Jawa masih tergolong berkepadatan Rendah.

Kepadatan Penduduk Kota di Pulau Jawa dan Kategori SNI

Ketika tingkat kepadatan yang diukur adalah jumlah populasi (136,610,590, data BPS 2010) terhadap luas lahan terbangun di pulau Jawa (2,530,792 Ha, data BPS, 2006), hasil akhirnya secara keseluruhan justru menunjukkan bahwa tingkat kepadatan lahan terbangun di pulau Jawa masih sangat rendah, yaitu 53.98 jiwa/Ha.

Jakarta

Bandung

Semarang

Surabaya

Serang

Sekalipun pada kota-kota yang saat ini telah terasa padat, melalui observasi visual sederhana, kecuali pada sebagian pusat-pusat perkotaan di kota besar, dapat dilihat bahwa tipologi hunian di kota-kota di Jawa, bahkan pada Ibu Kota Provinsi, didominasi oleh rumah tapak, yang jelas tidak mencerminkan orientasi pengembangan kota berkepadatan tinggi yang baik. Semakin tinggi angka kepadatan pada suatu kota dengan dominasi tipologi rumah tapak, dapat diasumsikan semakin buruk kualitas lingkungannya karena semakin sedikit ruang terbuka hijau, semakin berdempet-dempetan tanpa ruang visual, cahaya, dan pengudaraan yang layak, serta semakin jauh masing-masing unit hunian dari pusat aktivitas dan sarana transit. Bentuk paling ekstrim dari kondisi kepadatan tinggi dengan dominasi bentuk rumah tapak adalah slum.

Dengan melakukan komparasi antara kepadatan kota-kota di pulau Jawa terhadap beberapa standar kepadatan kota maupun tinjauan visual, maka terlihat bahwa kota-kota di pulau Jawa masih sangat memungkinkan untuk dibuat lebih padat lagi melalui perencanaan yang baik, terstruktur, dan menyeluruh.


4

Densifikasi kota-kota eksisting, jika dilakukan dengan benar, juga akan membawa potensi perbaikan: penciptaan ruang terbuka hijau, meningkatkan walkability, serta merasionalkan penyediaan fasilitas publik dan program penunjang lainnya sebagai dampak dari terkumpulnya populasi yang besar di suatu ruang perkotaan.

Perlu ditekankan bahwa yang ingin dicapai adalah densifikasi melalui reorganisasi dan restrukturisasi ruang perkotaan. Reorganisasi dan restrukturisasi harus dilakukan terlebih dahulu, memberi kesempatan untuk masuknya populasi dan program tambahan di ruang-ruang baru yang tercipta di pusat-pusat perkotaan. Tanpa reorganisasi dan restrukturisasi, densifikasi hanya akan menciptakan sekadar kota yang penuh-sesak.

***

Dari hal-hal yang telah dibahas di atas, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah:

  1. Moratorium New Town Development di pulau Jawa perlu untuk dilakukan segera. Waktu terbaik untuk melakukannya mungkin 20 atau 30 tahun yang lalu ketika luas kawasan hutan di pulau Jawa masih lebih tinggi, Urban Sprawl di pulau Jawa belum separah hari ini, dan New Town Development belum semasif saat ini. Tetapi waktu kedua-terbaik untuk melakukannya adalah sekarang: SEKARANG.
  2. Diperlukan studi yang jauh lebih mendalam terhadap masing-masing kota di pulau Jawa secara spesifik, daerah sekitarnya, relasinya terhadap kota-kota dan kabupaten di sekitarnya, melalui berbagai sudut pandang, untuk menentukan tingkat kepadatan ideal/optimal masing-masing kota, serta menentukan strategi yang terbaik untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi serta meningkatkan kepadatannya.
  3. Diperlukan insentif untuk pengembangan densifikasi kota eksisting yang berkontribusi dalam restrukturisasi dan reorganisasi ruang perkotaan ke arah yang lebih baik serta penyediaan fasilitas publik.
  4. Diperlukan pengadaan perumahan layak yang terjangkau oleh masyarakat di dalam kota.
  5. Diperlukan intervensi dan pembatasan penggunaan ruang untuk keperluan perumahan (contohnya negara Swiss telah membatasi kepemilikan baru akan lahan sebesar 400 m2 per kapita).

***

Sebagai catatan tambahan, terdapat beberapa tantangan dalam hal meningkatkan kepadatan kota-kota eksisting:

  1. Preferensi masyarakat Indonesia dalam hal hunian sangat cenderung ke kepemilikan akan tanah, sementara biasanya densifikasi perkotaan memerlukan pola hunian berlapis.
  2. Salah satu alasan utama mengapa sprawl terjadi adalah karena harga tanah dan perumahan di dalam kota yang tidak terjangkau. 
  3. Berkaitan juga dengan kedua poin sebelumnya, tidak semua pelaku, terutama sektor privat, mau atau berani melakukan pengembangan hunian di tengah kota, terlebih lagi untuk kategori hunian terjangkau.
  4. Bentuk ruang perkotaan di kota-kota di pulau Jawa yang sangat terfragmentasi menjadi kepingan kecil (rumah tapak) akan menyulitkan upaya restrukturisasi ruang.

Tantangan-tantangan tersebut telah melampaui sekadar perencanaan spatial dan telah memasuki ranah perekonomian, akan dibutuhkan lapisan-lapisan strategi dari skala makro hingga ke skala mikro, serta kepemimpinan dari sektor publik dalam mengkonsepkan maupun mengeksekusi strategi-strategi tersebut.

Melakukan moratorium New Town Development di pulau Jawa tentu bukanlah hal sederhana, mudah, dan cepat untuk dilakukan. Moratorium ini adalah suatu putaran 180 derajat dari arah pengembangan sebelumnya, melintas berbagai batas disiplin keilmuan, dengan berbagai dampak dan akibat yang perlu diantisipasi.

Tetapi sangat penting untuk dilakukan, baik dari sudut pandang kelestarian alam, bentuk kota yang sehat, bahkan juga politik. Karena dengan meambiarkan pertumbuhan berbagai New Town yang menjawab kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal yang terjangkau, sesungguhnya pemerintah telah melepas tanggung jawab penyediaan perumahan rakyat ke tangan pasar. Dan sejauh ini secara keseluruhan hasilnya tidak terlalu baik.

***

Catatan Penutup

Terdapat beberapa kemungkinan cacat nalar pada studi ini yang perlu ditinjau lebih jauh:

  1. Dapat saja logika yang digunakan untuk mendeduksi kesimpulan memiliki kecacatan. Untuk hal ini, kritisisme dan tanggapan balik adalah sangat diharapkan.
  2. Terdapat berbagai kesulitan dalam mencari data kondisi eksisting, seperti luas kawasan permukiman, luas kawasan terbangun, statistik hak kepemilikan hunian, dan lain-lain yang membuat diperlukannya melakukan asumsi pada beberapa bagian.
  3. Studi ini bersifat broad-strokes, melakukan generalisasi terhadap seluruh kota-kota di pulau Jawa tanpa melakukan tinjauan lebih jauh terhadap masing-masing kota secara spesifik. Sangat dimungkinkan terdapat anomali, kekhususan kondisi geografis, ekonomi, dan lain-lain.
  4. Terdapat masalah dengan cara pengukuran dan standar kepadatan. Sangat perlu untuk menentukan skala cakupan yang jelas yang dimaksud oleh angka tersebut; blok, distrik, kawasan, atau seluruh kota. Karena semakin besar cakupannya, akan semakin bertambah pula objek-objek lain ke dalam cakupan, seperti infrastruktur, sarana-prasarana, sungai, taman kota, kawasan industri, dan lain-lain.
  5. Perlu dilakukan pemilahan antara daerah eksisting pusat perkotaan, perkotaan, suburban, dan rural untuk melakukan pengukuran yang lebih baik.

Beberapa kemungkinan pengembangan dari studi ini:

  1. Studi pada fokus-fokus area yang lebih sempit, misalnya provinsi atau kelompok kota-kabupaten spesifik.
  2. Studi tentang strategi ekonomis dan kultural serta bidang-bidang lainnya tentang strategi menggeser preferensi masyarakat akan rumah tapak menjadi rumah susun.
  3. Studi tentang tipologi dan skema perumahan pada lingkungan yang lebih padat yang sehat yang dapat diterima oleh masyarakat dan strategi mengatasi terfragmentasinya ruang perkotaan.
  4. Studi tentang kemungkinan apa yang dapat diberikan untuk Izin lokasi yang telah diterbitkan tetapi belum direalisasikan, dalam rangka mengalihkan pembangunan New Town Development menjadi densifikasi kota eksisting.

No comments:

Post a Comment

Popular Nonsensical Matters