18 January 2016

Jakarta, Kemacetan, Jalan Tol, & Transportasi Publik Berbasis Rel

Marxistically; di Jakarta, untuk pergi ke tempat penghisapannya saja
buruh harus pikir sendiri transportasinya.




Pada waktu kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan Ahok menyatakan tidak akan meneruskan proyek pembangunan Enam ruas Tol Dalam Kota.

Tetapi sikap tersebut tiba-tiba berubah pada bulan Agustus-September tahun 2014, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (waktu itu masih Plt. Gubernur) mengatakan akan meneruskan proyek pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta. Salah satu tujuannya, sesuai dengan perkataan Ahok, adalah untuk meningkatkan rasio jalan dan mengurangi kemacetan di Jakarta.




1. Rasio Luas Jalan & Kemacetan

Sampai kapan teori lapuk "rasio luas jalan" mau terus dikunyah-kunyah untuk merasionalisasi pembangunan jalan baru untuk kendaraan pribadi, jalan layang baru untuk kendaraan pribadi, dan jalan tol baru untuk kendaraan pribadi?

Teori rasio luas jalan memang masih dapat digunakan untuk sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk yang terbatas, atau kota yang sedang dalam masa-masa awal pertumbuhannya, sebagai acuan dasar bahwa sekian persen dari luas kota haruslah ditujukan untuk memfasilitasi sirkulasi warga, untuk mendukung aktivitas warga, menggerakan roda perekonomian perkotaan, memekarkan kota itu sendiri, dan memastikan setiap tempat memiliki akses dan ruang terbuka yang memadai.

Tetapi Jakarta ini adalah sebuah kota metropolitan seluas 661 kilometer persegi dengan penduduk tetap sebanyak sekitar 10 juta jiwa dengan ditambah para komuter sekitar 5.4 juta jiwa per hari. Untuk kota sebesar dan sepadat Jakarta, dengan kepadatan penduduk rata-rata sekitar 16 ribu jiwa per kilometer persegi, rasio tersebut sudah semakin tidak masuk akal untuk dikejar.

Lebih dari tiga puluh persen dari seluruh kendaraan bermotor di seluruh Indonesia berada di Jakarta. Tahun 2014 saja tercatat ada 3.2 juta mobil dan 17.5 juta motor yang dimiliki oleh warga Jakarta, ditambahkan dengan pendatang dari luar kota, ada sekitar 20 hingga 21 juta kendaraan yang berlalu-lalang di Jakarta setiap hari. Dan angka tersebut masih terus bertumbuh sekitar 12% per tahun; dengan sistem transportasi yang motor-mobil-sentris, pertumbuhan populasi, angkatan kerja, dan ekonomi akan selalu mendorong pertumbuhan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor. Jika pada tahun 2011 sejumlah 894 ribu mobil baru laku terjual pada pameran otomotif tahunan di Jakarta, maka pada tahun berikutnya 1.2 juta mobil yang terjual.

Melihat data-data di atas, berusaha untuk mencapai rasio kota berbanding jalan yang baik berdasar teori lapuk memang mungkin saja, toh perekonomian kita mampu membiayai pembangunan jalan layang atau terowongan baru, tetapi masalahnya itu tidak masuk akal untuk dilakukan.

Walaupun dapat tercapai sekalipun, rasio tersebut hanya mempertimbangkan perkara luas jalan berbanding luas kota yang cenderung statis, sementara dengan luasan yang relatif sama, Jakarta telah mengalami berkali-kali lipat peningkatan jumlah penduduk. Di kota metropolitan seperti Jakarta gedung bertambah tinggi setiap tahun; manusia hidup dan beraktivitas secara bertumpuk-tumpuk hingga puluhan lantai.

Oleh karena itu luas area kota sudah tidak relevan untuk menghitung rasio luas ruang sirkulasi yang dibutuhkan. Kita harus hitung juga luas setiap lantai di atas dan di bawah lantai dasar dari gedung apartment, rumah susun, pasar, sekolah, perkantoran, mall, dan rumah sakit jika kita mau tahu luasan kota "yang sebenarnya". Adalah jumlah penduduk, jumlah pengguna kota, angkatan kerja, jumlah manusianya yang harus digunakan sebagai tolok ukur kebutuhan ruang sirkulasi.

Dengan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk semacam Jakarta, kebutuhan ruang sirkulasi tidak dapat lagi dipenuhi semata-mata dengan menambah ukuran ruang sirkulasi tersebut, karena selain jalanan, warga juga membutuhkan ruang-ruang publik lainnya. Kita bukan butuh ruang sirkulasi mobil-motor yang lebih banyak lagi, kita butuh metode lain dalam bertransportasi, yang lebih masuk akal.

***

Bisa saja kita tetap terus membangun jalan, memperluas, memperpanjang, menambah layang baru dan terowongan baru dengan tanpa henti, menyetarakan ruang sirkulasi kendaraan pribadi dengan rasio jumlah pengguna kota.

Kabar buruknya, selain bahwa itu adalah cara yang sangat terbelakang, cara itu tetap tidak akan menghapuskan kemacetan dari jalanan.




Seruas jalan dilebarkan atau dibuat baru adalah tanggapan terhadap "trend" peningkatan jumlah kendaraan yang menggunakan jalan tersebut dari waktu ke waktu, dengan harapan terdapat ruang yang memadai untuk menampungnya. Tetapi selalu, kapan pun dan di mana pun, pembukaan jalan baru justru malah memancing orang-orang di luar jumlah pengguna kendaraan yang telah diantisipasi untuk ikut juga menggunakan kendaraan pribadi. Orang-orang yang sebelumnya menghindari waktu-waktu padat juga akan melihat ruas jalan baru tersebut sebagai kesempatan untuk tidak usah menghindarinya lagi. Hal ini akan membuat trend penggunaan kendaraan pribadi meningkat dari perkiraan sebelumnya, dan dalam waktu singkat akan melampaui kapasitas yang baru diakomodir, dan malah akan memperparah kemacetan. Hal ini disebut sebagai "Induced Demand".

Bisa saja kita tetap bersikukuh dan terus-menerus berjuang untuk mengejar trend peningkatan jumlah kendaraan yang baru, mengakomodasi berapapun jumlah kendaraan yang mau digelontorkan di jalanan. Tetapi, selain bahwa itu adalah cara yang sungguh terbelakang kuadrat, dengan cara itu lama-kelamaan kita semua akan terkubur di bawah berlapis-lapis jalanan di atas kepala, langit kita akan berwarna kelabu bertekstur beton ekspos, dengan sedikit grafitti di sana-sini. Kota menjadi milik kendaraan dan kita akan hidup bagai tikus dan kecoak saja.

Kita tidak mau menjadi tikus dan kecoak yang hidup mengendap-endap menumpang pada kota yang diabdikan untuk mobil dan motor. Kita bukan butuh lebih banyak dan lebih luas lagi jalanan untuk mereka, kita butuh metode lain dalam bertransportasi, yang lebih sehat.

***

Bahkan pada kenyataanya, andai kata kita telah memutuskan untuk rela hidup bagai tikus dan kecoak di kolong jalanan milik mobil dan motor, andai kata seluruh area kota ini ditutupi jalanan, seperti kanopi yang mengangkangi segala hal lain di bawahnya; macet tetap saja akan terjadi.

Karena kemacetan terjadi terutama di daerah sekitar tempat tujuan dan karena tempat dan waktu berkegiatan warga pada umumnya seragam; kerja, ke sekolah, atau ke pasar di pagi hari, pulang atau sedikit nongkrong di sore hari, dan hiburan di akhir minggu. Selama moda transportasinya kendaraan pribadi, akan selalu ada kemacetan di jalan di sekitar perumahan, perkantoran, perbelanjaan, sekolah, pasar; daerah padat tempat tinggal dan tempat beraktivitas penduduk kelas menengah dan menengah ke atas setiap pagi dan sore.

Jangankan sekadar jalanan perkotaan, jika setiap orang atau mayoritas orang yang menyeberang antara Banten dan Lampung menggunakan kapal pribadi, maka sehebat apapun Selat Sunda dapat menampung kerumunan kapal tersebut, pelabuhan Merak dan pelabuhan Bakauheni yang pada akhirnya akan tewas tercekik.

Barangkali Selat Sunda memang masih terlalu sempit. Lalu bagaimana dengan pesawat-pesawat terbang di langit luas hampir tak berbatas yang saat ini saja terpaksa harus mengantri untuk bisa mendarat di bandara Soekarno Hatta. Bayangkan jika mayoritas penumpang pesawat membawa pesawatnya masing-masing.

Seluas apapun ruang yang disediakan untuk transportasi berbasis kendaraan pribadi, tetap saja tidak akan pernah cukup. Kita bukan butuh ruang yang lebih luas lagi untuk kendaraan pribadi, kita butuh metode lain dalam bertransportasi, yang lebih waras.

***

Lalu mungkin lantas kita berfikir; tetapi yang hendak dibangun adalah bukan sekadar jalan, melainkan Jalan Tol, Jalan Bebas Hambatan, yang ditujukan bukan untuk transportasi yang dekat-dekat saja, yang tidak secara langsung terganggu oleh berbagai macam tempat tujuan yang telah disebutkan, yang menghubungkan berbagai titik di dalam kota secara makro, bukan jalan-jalan kecil "di sekitar tempat tujuan" dengan banyak persimpangan dan gerbang keluar-masuk di pinggirannya.

Maka lihatlah Tol Dalam Kota yang saat ini telah ada. Lihat pula bagaimana jadinya Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road saat ini.

Kemacetan adalah masalah inheren dari moda transportasi berbasis kendaraan bermotor pribadi. Inheren: artinya melekat dan merupakan bagian tak terpisahkan dari moda transportasi tersebut.

Di sebuah jalan berisi kendaraan-kendaraan pribadi, pertimbangan, kontrol, pengambilan keputusan, dan segala hal lain terkait laju kendaraan dipecah dan didelegasikan kepada banyak sekali orang. Setiap kendaraan yang berjumlah ribuan itu memiliki otaknya sendiri-sendiri, yang tidak saling terintegrasi satu dengan lainnya. Yang terbentuk adalah arus transportasi yang sangat cair, fleksibel, namun sama sekali tidak stabil, dan mudah sekali terganggu. Sedikit saja terdapat gangguan, baik itu oleh sebab komponen internal dari arus itu sendiri maupun oleh sebab eksternal, maka keharmonisan arus akan rusak dengan tiba-tiba dan melahirkan kemacetan.

Ada banyak hal yang bisa menjadi gangguan terhadap suatu arus lalu lintas. Kemacetan lalu-lintas bisa dipicu oleh gangguan ringan yang membuat satu atau dua kendaraan melambat secara tiba-tiba di tengah arus yang pada awalnya stabil.

Sedikit hambatan di sebuah lajur, genangan air, lubang di tengah jalan, perlintasan kereta api, pertemuan arus, perpotongan arus, truk di jalur cepat atau tanjakan, kendaraan yang tiba-tiba berpindah lajur, kendaraan dari luar yang masuk ke lajur utama, benda atau kejadian apapun di tepi jalan yang mencuri perhatian pengemudi dan membuatnya sejenak menginjak pedal rem, atau sekadar kucing yang menyeberang dengan tiba-tiba; bahkan, meskipun suatu lajur sebenarnya sangat lancar, sekadar kemacetan di lajur sebelah akibat antrian keluar dari arus utama pun cenderung akan membuat pengemudi melambatkan laju kendaraannya.

Gangguan-gangguan ringan tersebut akan membuat - pada awalnya - satu atau dua kendaraan melambatkan lajunya dengan tiba-tiba, yang diikuti oleh kendaraan di belakangnya, yang biasanya akan menurunkan kecepatan lebih rendah dari kendaraan di depannya untuk memperpanjang ruang antar kendaraan. Beberapa kendaraan ke belakang, rem akan diinjak lebih dalam lagi manakala pengemudi melihat beberapa baris lampu rem bernyalaan di mukanya sebagai upaya antisipasi. Demikian reaksi saling melambatkan laju merambat ke arah belakang, lebih lambat di setiap barisnya, hingga sekian baris di belakang kondisi lalu lintas telah berada dalam keadaan merayap. Lalu ketika mulai melajukan kembali kendaraannya, setiap pengemudi akan sekian detik lebih lambat untuk mulai melaju dibandingkan kendaraan di depannya. Dalam kondisi di atas, arus kendaraan bergerak seperti pegas atau seperti gerak cacing.

Cukup ditambah pengemudi yang tidak responsif, kaki yang mulai lelah, atau truk yang lamban untuk dilajukan kembali, maka dalam sekejap kondisi merayap berubah menjadi berhenti total untuk sejenak, yang akan menjadi berhenti total untuk waktu yang lama - "macet" - ketika hal ini berulang dalam jeda yang singkat. Mekanisme seperti di ataslah yang seringkali terjadi dalam suatu kemacetan.

Terlebih lagi jika gangguan-gangguan ringan di atas masih dimeriahkan lagi oleh gangguan-gangguan berat yang bertebaran di Ibukota Jakarta; kecelakaan, mobil mogok, banjir, kaki lima menghadang jalan, jalan menyempit, lajur yang ditutup, perbaikan jalan, lampu lalu-lintas, terlebih lagi yang sedang mengalami gangguan, atau gerbang Tol.

Ya. Di Indonesia, khususnya di Jakarta, lampu lalu-lintas dan gerbang Tol adalah salah satu penyumbang kemacetan yang lazim. Setiap hari beribu-ribu kendaraan terjebak dalam kemacetan di Ibukota karena mengantri lampu lalu-lintas berubah warna menjadi hijau. Pada liburan Natal tahun 2015, kemacetan parah melanda berbagai tempat di sekitar Ibukota, ditengarai penyebabnya adalah antrian gerbang bayar Tol.

Bahkan lampu lalu-lintas dan gerbang tol! Yang pertama adalah alat untuk membantu ketertiban dan kelancaran lalu lintas, yang kedua adalah sarana yang dalam bahasa Indonesia disebut "jalan bebas hambatan". Keduanya tak terlepas dari kutuk kemacetan Ibukota, karena memang permasalahannya bukan di mana-mana melainkan di moda transportasi berbasis kendaraan pribadi itu sendiri. Untuk terbebas dari kemacetan kita perlu metode lain dalam bertransportasi, yang lebih cerdas.


2. Uang & Ruang Publik

Sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah progresif dengan berbagai macam kebijakannya yang dirintis sejak Jokowi menjadi Gubernur, hingga diteruskan oleh Ahok sesudah Jokowi diangkat menjadi Presiden. Mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, Rumah Susun Sewa, pembangunan taman, danau, dan waduk, pemasangan parkir meter di berbagai tempat, revitalisasi pasar, pengembangan Transjakarta, dan MRT yang pada akhirnya dapat berjalan hingga saat ini pengeboran terowongan MRT telah berlangsung sepanjang ratusan meter.

Semestinya, jodoh dari Rumah Susun Sewa dan berbagai kebijakan progresif Jokowi-Ahok lainnya adalah sarana Transportasi Publik, bukan jalan Tol Dalam Kota.

Walaupun jumlah mobil pribadi di Jakarta sedemikian berlimpah ruah berceceran di jalan-jalan, harus diingat bahwa hanya sekitar 30% dari warga Jakarta yang memiliki mobil, sisanya menumpang transportasi publik atau naik motor, hingga - entah bagaimana ceritanya - menggelembungkan jumlah motor di kota ini hingga hampir dua kali lipat jumlah penduduknya.

Tujuh puluh persen warga DKI Jakarta yang tidak memiliki mobil pribadi tidak akan atau akan sangat jarang menikmati Tol Dalam Kota yang akan dibangun. Pembangunan enam ruas tol dalam kota ini memang tidak sepenuhnya menggunakan uang pajak masyarakat karena pembangunannya melibatkan investor, tetapi harus diingat bahwa yang dikorbankan bukan hanya uang publik, melainkan juga ruang publik.

Ruang yang dijadikan jalan Tol Dalam Kota tersebut adalah ruang yang sangat berharga untuk publik secara keseluruhan, bukan hanya bagi 30 persen warga yang memiliki mobil. Jika ada rasio yang sangat penting untuk ditingkatkan saat ini, dan merupakan hak seluruh warga negara untuk dapat hidup dengan layak dan sehat, adalah rasio luas ruang terbuka hijau, jalur pedestrian, plaza milik publik, dan berbagai macam ruang terbuka publik lainnya.

Dan jika ada sarana transportasi yang sangat mendesak untuk dikembangkan dan layak untuk dibayar menggunakan uang dan ruang publik, adalah melanjutkan studi dan secepat-cepatnya menggarap jalur MRT Timur-Barat. Karena sebagian dari 3 juta pengguna mobil di kota ini, dan tentu saja hampir seluruh dari pengguna motor, serta banyak sekali warga di kota ini yang setiap hari harus bertransportasi dengan cara yang primitif karena terpaksa oleh situasi. Mahal, melelahkan, berbahaya, tidak nyaman, macet, seperti hewan. Uang dan ruang milik publik selayaknya digunakan untuk sebesar-besar kepentingan publik.

Jalur MRT Timur-Barat sangat penting bagi warga kota ini, karena ia akan menghubungkan pusat-pusat pemukiman di daerah Barat Jakarta, juga untuk meneruskan perjalanan dari Tangerang dan sekitarnya, menuju kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan di Jakarta Pusat, kawasan perindustrian di Jakarta Timur, sekaligus menjadi pintu gerbang dari arah Bekasi.


3. Transportasi Publik Berbasis Rel

Dalam transportasi berbasis kendaraan pribadi, pengetahuan, rencana, kontrol, pertimbangan, dan keputusan dalam bertransportasi dilakukan di sepanjang perjalanan bagaikan hampir tanpa rencana, oleh masing-masing kepala yang mengemudikan setiap kendaraan, bahkan masing-masing kepala tadi akan memiliki emosi, kelelahan, dan kesehatan jiwanya masing-masing; setiap kendaraan melaju dengan kondisi mesin, ban, dan baterai yang berbeda-beda. Maka kira-kira cukup tepat jika ada satu kata yang dapat menggambarkannya dengan tepat: Anarkis.

Sementara itu, satu kata yang dapat menggambarkan transportasi publik berbasis rel adalah: Efisien.

Rute, kecepatan, waktu, dan kondisi kendaraan pada moda transportasi berbasis rel sangat terencana dibandingkan moda transportasi yang lainnya. Banyak keputusan tentang perjalanan dan pergerakannya telah dibuat sejak jauh-jauh hari secara sistematis, atau berupa rencana perjalanan yang tidak berubah-ubah dan bersifat terbuka, atau berupa prosedur kerja yang telah dibakukan. Semuanya tidak berubah-ubah, semuanya tidak mengandalkan pikiran, pertimbangan, dan kehendak dari ribuan kepala yang membuat keputusannya masing-masing secara langsung di atas aspal jalanan.

Semua orang di dunia beradab sudah tahu dan sadar-sesadar-sadarnya bahwa moda transportasi berbasis rel memiliki kapasitas yang luar biasa besar dengan efisiensi ruang yang sangat tinggi dibandingkan moda transportasi kendaraan pribadi. Sebuah motor - normalnya - hanya boleh mengangkut 2 orang dan sebuah mobil pribadi dapat mengangkut maksimal 10 orang, walaupun lebih sering hanya diisi satu atau dua orang saja. Sementara MRT Jakarta yang sedang dalam proses pembangunan, misalnya, satu kali sebuah rangkaian bergerak ia mampu mengangkut dua ribu orang sekaligus dan direncanakan rangkaian akan berangkat setiap 5 menit sekali; itu sama dengan 1000 buah mobil yang terisi 2 orang. Jika kita jajarkan mobil sejumlah itu di sebuah jalan dengan 3 lajur, kita akan mendapatkan antrian mobil sepanjang lebih dari 1.5 kilometer - yang akan bertambah setiap lima menit sekali.

Moda transportasi berbasis rel yang digunakan untuk keperluan dalam kota, seperti MRT, memang tidak memiliki kecepatan yang tinggi. Jika MRT Jakarta kita jadikan contoh lagi, walaupun kecepatan maksimalnya adalah 110 km/jam, untuk penggunaan komersialnya nanti ia akan bergerak pada kecepatan 30 km/jam saja. Terbilang lamban jika dibandingkan kecepatan mobil di Jalan Tol yang dapat mencapai 120 km/jam atau lebih (yang sesungguhnya maksimal di 80 atau 100 km/jam). Tetapi dibandingkan moda transportasi berbasis kendaraan pribadi, ada sangat sedikit gangguan atau kecelakaan yang dapat terjadi terhadapnya. Tidak ada gerakan pegas atau cacing yang terjadi, karena setiap rangkaian kereta akan bergerak berdasarkan jadwal, bukan suasana hati pengemudinya. Tidak ada truk yang dapat menghambat perjalanannya, tidak ada lubang, pedagang kaki lima, jalan menyempit, dan hal-hal lainnya yang menjadi alasan untuk melambatkan laju dengan tiba-tiba. Hasilnya adalah dengan kecepatan yang wajar dan aman, orang akan sampai di tempat tujuan dengan lebih cepat dibandingkan jika menggunakan kendaraan pribadi.

Hasil dari efisiensi dalam hal terencana, kapasitas, dan kecepatan adalah efisiensi dalam waktu dan energi.

Kita telah tahu bahwa selama transportasi masih didominasi kendaraan pribadi, daerah di sekitar tempat yang banyak dituju publik adalah tempat yang akan selalu dilanda kemacetan, selain karena volume kendaraan, adalah juga karena mereka akan bergerak berlamban-lamban mencari tempat parkir. Jika orang berpindah tempat tanpa membawa-bawa kotak berukuran 1.8 x 4.2 meter bersamanya, maka aliran manusia akan lebih lancar, tidak perlu membuang waktu untuk mencari tempat memondokkan kotak besi yang dibawanya tersebut, hasilnya waktu yang diperlukan untuk menuju tempat tujuan menjadi jauh lebih singkat, ada lebih banyak waktu yang produktif atau dinikmati.

Waktu yang dibuang untuk proses perjalanan dan mencari parkir adalah waktu yang digunakan untuk membuang-buang energi yang sangat berguna sekaligus ikut bersumbangsih untuk kotornya udara perkotaan. Ruang yang kosong di dalam sebuah kendaraan pribadi adalah ruang yang tak memiliki daya guna namun tetap harus "dibayar" menggunakan pembakaran energi. Pada moda transportasi kendaraan pribadi, semakin ramai dan penuh-sesak jalanan, semakin jeblok efisiensinya; sementara - karena tidak mengenal kemacetan - pada moda transportasi berbasis rel, semakin ramai dan penuh-sesak perjalanan, semakin tinggi efisiensinya. Dan walaupun rangkaian kereta mungkin akan kosong atau lengang pada waktu-waktu tertentu, energi yang digunakan adalah energi listrik yang terbarukan dan tidak menghasilkan emisi gas buang.

Jika efisiensi-efisiensi tersebut dapat dicapai dan mendominasi pergerakan manusia di sebuah kota seperti Jakarta, maka yang akan dihasilkan adalah keuntungan ekonomis - untuk semua pihak.

Dengan mobilitas yang semakin cepat dan kapasitas yang tinggi, maka akan semakin besar pula potensi ekonomi yang mengandalkan mobilitas.

Pertama adalah hal-hal produktif seperti berangkat ke tempat kerja, mengunjungi mitra, membangun usaha, melakukan studi, dan lain-lain. Jika jam kerja dalam satu hari didominasi oleh waktu yang harus dihabiskan di jalan membuat orang hanya dapat mengurus satu atau dua urusan dalam satu hari, maka jika waktu yang harus dihabiskan di jalan dapat direduksi hingga setengahnya saja, maka orang memiliki kesempatan untuk dua kali lipat lebih produktif dari sebelumnya.

Kedua adalah hal-hal konsumtif, yang jika dipandang dari sisi penjual atau keseluruhan masyarakat adalah merupakan hal produktif. Pengurangan waktu bertransportasi dan peningkatan kapasitas hanya berarti satu hal bagi pemilik usaha makanan, jasa, dan hiburan: Potensi keuntungan yang meningkat. Akan ada lebih banyak orang yang datang, dan ada lebih banyak waktu yang dihabiskan orang untuk hilir-mudik, belanja, nongkrong, makan, bermain.


Jakarta sebagai sebuah kota pun akan menjadi semakin produktif dan efisien. Ruang milik publik digunakan untuk kepentingan mayoritas publik dan pembangunan digunakan untuk mendongkrak naik potensi-potensi ekonomi seluruh warga. Jika dominasi kendaraan pribadi dapat diakhiri, maka ruang-ruang privat juga dapat menjadi jauh lebih produktif dibandingkan jika hanya digunakan sebagai gedung parkir dan jalan akses kendaraan. Ruang-ruang tersebut dapat menampung lebih banyak lagi aktivitas ekonomis; dijual, disewakan, sebagai tambahan atau perluasan ruang produktif yang telah ada.

Dengan efisiensi mobilitas yang ditunjang oleh moda transportasi yang waras, ada banyak sekali potensi ekonomi yang dapat diwujud nyatakan. Berikutnya yang kita akan tahu adalah lapangan kerja yang semakin terbuka lebar, semakin banyak orang yang berhasil, produktivitas meningkat, pendapatan pajak negara juga ikut terdorong, dan fasilitas yang dapat diberikan negara kepada publik pun semakin baik.

Kemudian kota Jakarta akan tumbuh menjadi kota yang lebih sehat secara mental. Karena warganya memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik secara ekonomi; karena moda transportasi yang hemat ruang, hemat energi, hemat waktu, serta menunjang kesehatan ekologis perkotaan; karena kehidupan kultural dan sosial warga akan diperkuat, teman, sahabat, dan keluarga memiliki lebih banyak kesempatan untuk bertemu, mengobrol, bercerita, dan berencana sepulang kerja.

No comments:

Post a Comment

Popular Nonsensical Matters